Tidak banyak yang kita bisa dapatkan hanya dengan berusaha seadanya dalam mencoba membuka mata seorang yang telah tertutup hatinya. "Seperti mengajar monyet!", temanku pernah berkata kepadaku. Mengapa? Monyet tidak akan pernah pintar, dan kita hanya akan mendapatkan capeknya saja. Syukur-syukur kalau hanya capek. Bagaimana kalau capek itu disertai dengan naiknya tekanan darah dan mendidihnya ubun-ubun? Weleh!
Hal itu yang aku dengar beberapa waktu yang lalu. Temanku, katakanlah namanya Doug, memiliki tetangga yang sedang membangun rumah di sebelah rumahnya. Awalnya sih tidak terjadi apa-apa. Tetapi ketika rumah tersebut setengah berdiri, barulah Doug menyadari bahwa rumah itu akan menjadi rumah bertingkat yang akan menutupi matahari yang selama ini dapat dinikmatinya sepanjang hari. Lantas ia mendatangi tetangganya, dan bertanya akan hal itu. Apa yang didapatinya? Tetangganya hanya bilang bahwa, "Ini adalah property saya, dan saya bebas melakukan hal apa saja dengan property saya!"
Tidak dapat disangkal lagi, tentu Doug merasa sangat tidak nyaman dengan jawaban yang sangat bersahabat seperti itu. Doug pernah berbicara kepada saya, bahwa ia hanya ingin berdiskusi tentang masalah ini, dan kalau bisa secara bersama-sama melakukan sesuatu sehingga rancangan rumah dapat dimodifikasi sedikit sedemikian rupa sehingga berkah matahari akan diperoleh bersama-sama secara optimal.
kebetulan, istri Doug adalah seorang asing dari Eropa, yang jika hak-haknya dilanggar akan bereaksi dengan keras. Sang istri kemudian berusaha untuk berbicara dengan si tetangga dengan baik-baik. Apa yang diperolehnya? Cacian tak bermalu, "Ini bukan Eropa, ini Indonesia! Pulang kau ke rumahmu!".
Aku yang prihatin, hanya bisa menyabarkan Doug dengan membeikan jurus "monyet" tadi. Mengajar monyet untuk berdiskusi memang tidak mudah.
Tuesday, October 03, 2006
Mengajar Monyet
Thursday, April 13, 2006
Taksi oh Taksi
Simak sebuah artikel tentang bagaimana pengemudi taksi Bandung menunjukkan betapa tidak profesionalnya dan sangan kekanak-kanakannya mereka. Aku hanya berpikir:
- Di mana hakku sebagai pengguna taksi yang menginginkan kenyamanan di Bandung?
- Masih haruskah aku terus menarik urat leher dengan para pengemudi taksi yang semena-mena menetapkan tarif?
- Masih haruskah aku terus berdebat dengan para pengemudi taksi agar mereka mau menggunakan argometer?
- Masih haruskah aku terus was-was apakah taksiku datang menjemputku?
Sebelum Blue Bird datang ke Bandung, sudah bukan rahasia lagi bahwa pelayanan taksi Bandung adalah pelayanan amburadul yang sangat menjengkelkan hati. Hatiku geram ketika melihat sepenggal berita:
Blue Bird dirusak
Dihubungi secara terpisah, General Manager Blue Bird Bandung, Adjat Sudradjat, mengatakan, dua armada taksi BB yang terjebak dalam aksi demo di Jln. Padjadjaran dan Jln. Asia Afrika, dirusak massa. Akibatnya, taksi dengan nomor unit UD 178 dan UD 150, mengalami kerusakan. “Kaca belakang dan depan pecah, bodinya juga rusak. Tapi sopir kami tidak apa-apa,” katanya. Kejadian tersebut, menurut Adjat, telah dilaporkan ke Polwiltabes Bandung dan saat ini tengah diproses. Kendati demikian, BB masih tetap beroperasi seperti biasa. (A-157/A-159)***
Kapan para pengemudi taksi dan para pengusaha taksi di Bandung bisa lebih profesional? Entah!
Sunday, January 01, 2006
Manusia Pengecut
Tahun 2006 telah datang. Namun keprihatinan menghiasi pergantian tahun kali ini. Masih saja manusia-manusia pengecut mencoba memperlihatkan pada dunia bahwa mereka punya sesuatu. Kenyataannya, rasa muaklah yang dituai. Rasa muak itu bahkan naik ke ubun-ubunku, rasa muak itu bahkan menjelma menjadi kutuk yang keluar dari bibirku, rasa muak itu mengisi seluruh sendi dan sumsum tulangku.
Tidak ada manusia beriman yang menaruh jiwa insan Tuhan di ujung teror atas nama Tuhan.