Tidak banyak yang kita bisa dapatkan hanya dengan berusaha seadanya dalam mencoba membuka mata seorang yang telah tertutup hatinya. "Seperti mengajar monyet!", temanku pernah berkata kepadaku. Mengapa? Monyet tidak akan pernah pintar, dan kita hanya akan mendapatkan capeknya saja. Syukur-syukur kalau hanya capek. Bagaimana kalau capek itu disertai dengan naiknya tekanan darah dan mendidihnya ubun-ubun? Weleh!
Hal itu yang aku dengar beberapa waktu yang lalu. Temanku, katakanlah namanya Doug, memiliki tetangga yang sedang membangun rumah di sebelah rumahnya. Awalnya sih tidak terjadi apa-apa. Tetapi ketika rumah tersebut setengah berdiri, barulah Doug menyadari bahwa rumah itu akan menjadi rumah bertingkat yang akan menutupi matahari yang selama ini dapat dinikmatinya sepanjang hari. Lantas ia mendatangi tetangganya, dan bertanya akan hal itu. Apa yang didapatinya? Tetangganya hanya bilang bahwa, "Ini adalah property saya, dan saya bebas melakukan hal apa saja dengan property saya!"
Tidak dapat disangkal lagi, tentu Doug merasa sangat tidak nyaman dengan jawaban yang sangat bersahabat seperti itu. Doug pernah berbicara kepada saya, bahwa ia hanya ingin berdiskusi tentang masalah ini, dan kalau bisa secara bersama-sama melakukan sesuatu sehingga rancangan rumah dapat dimodifikasi sedikit sedemikian rupa sehingga berkah matahari akan diperoleh bersama-sama secara optimal.
kebetulan, istri Doug adalah seorang asing dari Eropa, yang jika hak-haknya dilanggar akan bereaksi dengan keras. Sang istri kemudian berusaha untuk berbicara dengan si tetangga dengan baik-baik. Apa yang diperolehnya? Cacian tak bermalu, "Ini bukan Eropa, ini Indonesia! Pulang kau ke rumahmu!".
Aku yang prihatin, hanya bisa menyabarkan Doug dengan membeikan jurus "monyet" tadi. Mengajar monyet untuk berdiskusi memang tidak mudah.
Tuesday, October 03, 2006
Mengajar Monyet
Subscribe to:
Posts (Atom)