Sejak 2 bulan yang lalu, saya memang sedang super sibuk. Proposal yang harus dimasukkan pada tanggal 29 bulan yang akan datang, masih terus digodok. Pertarungan antar ego dan tanggung-jawab merupaka menu tim sehari-hari. Tekanan dari kiri-kanan sudah tak tertahankan lagi. Padahal, masih banyak tugas rutin yang harus saya perhatikan, termasuk tugas-tugas dari pimpinan departemen saya, atau sebagai anggota satgas dari berbagai platform. Tekanan besard atang secara tiba-tiba ketika komitmen beberapa unit dipertanyakan, padahal deadline semakin dekat. Sodokan-sodokan tak ber-perikemanusiaan terus muncul dan menghantui tidur, ketika saya tiba-tiba harus mengurusi ujian sertifikasi di unit saya. Kepala ini mau meledak, ketika Pak Taruban datang kepada saya, dan komplain bahwa dia tidak punya waktu untuk mengurusi tugas-tugas yangs aya berikan. "Lha, apakahs aya punya waktu??", saya berteriak dalam hati. Saya telah mencoba untuk melakukan pendekatan persuasif dan mencoba untuk menerangkan kondisi yang sama-sama kita hadapi. "Satu gagas, semua gagal!", itu selalu kata-kata yang saya lontarkan, sambil berharap agar Pak Taruban dapat mengerti. Mengerti, bahwa bukan hanya beliau yang harus berkorban, tetapi kita semua.
Muka saya merah padam, ketika beliau berkata kepada saya, "Dedikasi, sih dedikasi Pak, tapi saya kan perlu makan, dan saya sudah punya banyak komitmen. Masak, saya harus meninggalkan komitmen saya yang telah saya buat sejak beberapa waktu yang lalu? Yang bener aja, Pak!", celotehnya suatu saat. Saya mencoba untuk menahan diri, dan mengusap dada, "Lha kalau banyak komitmen, kenapa dulu bersedia untuk mengusulkan program pengembangan di proyek ini?", saya ngedumel dalam hati. Menahan marah, tentu.
Kemarin, saya capek sekali. Ketika saya pulang ke rumah, tiba-tiba istri saya marah-marah kepada saya hanya mungkin karena kesalah-pahaman. Saya meledak. Kepala saya pusing, dan urat leher saya menegang. Tangan saya melayang ke arah pintu di dekat saya, dan sekuat tenaga saya memukulkan tinju saya ke pintu. "Dhuuaarrr!!!", pintu meledak. Di ujung mata saya, air mata keluar memercik. Nafas memburu, dan dalam hati saya menangis. Saya merasa sangat sedih, sekaligus malu kepda diri sendiri.
Mungkin saya salah, telah membawa masalah di kantor ke rumah. Tetapi apa yang bisa saya lakukan ketika saya telah berada pada kondisi yang sangat tertekan? Saya hanya bisa menyesal, karena semua energi yang telahs aya kerahkan akhir-akhir ini untuk menahan marah, akhirnya sia-sia. Saya merasa kerdil, bersalah.
Setelah setelah itu, saya mencoba untuk meminta maaf kepada istri saya bahwa saya telah marah seperti itu, sambil menerangkan kepadanya bahwa akhir-akhir ini saya benar-benar merasa tertekan. Saya mohon kepadanya untuk membantu saya sedapat mungkin dengan memberikan dukungannya, pengertiannya.
Moga-moga ia mengerti.-