Pagi ini aku berdiskusi dengan 3 orang mahasiswaku, yang sedang menyelesaikan tugas Rancangan Pabriknya. Mereka aku tugaskan untuk merancang sebuah pabrik hidrogen untuk bahan baku energi (untuk sel bahan bakar - fuel-cell) melalui reaksi reformasi kukus metanol atau etanol.
Setelah melakukan analisa ekonomi, energi listrik dari sel bahan bakar akan menguntungkan jika listrik dijual dengan harga Rp 1500-2000 per KWH. Dan hal itu tidak ekonomis jika dilakukan saat ini, di saat subsidi energi yang dialokasikan oleh pemerintah begitu besarnya, hingga mencapai 20% dari total anggaran belanja negara! "Hah, 20% pak? Yang bener aja?", mata mereka melotot tidak percaya menatapku.
Aku yakinkan pada mereka bahwa saat ini Pemerintah diambang kebangkrutan jika subsidi untuk energi dipertahankan sebesar itu. Pada artikel yang kutulis beberapa saat yang lalu (Protes Kenaikan BBM? Lho Kok?) aku menyebut beberapa angka fantastis tentang kenyataan ekonomi makro kita. Subsidi energi sebesar 187,1 triliun rupiah ini pasti akan membengkak seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Jika hal ini terjadi, yang dirugikan siapa? Yang pasti, negara ini tidak akan pernah maju dengan subsidi sebesar itu. Anggaran subsidi sebesar itu berkali-kali lipat lebih besar dari anggaran pendidikan nasional yang hanya sebesar 45,3 triliun! Aku awam dalam soal manajemen pengaturan keuangan, apalagi masalah pemerintahan. Tetapi hal yang kasat mata seperti ini mestinya bisa dilihat oleh orang-orang pintar di negeri ini, entah itu mahasiswa, maupun elite bangsa.
"Maaf Pak, jadi demo menentang kenaikan harga BBM itu salah, toh?", mereka berceletuk. Dari sudut pandang ini, ya salah, kataku. Program pembangunan dalam bidang infrastruktur, kesehatan, pendidikan kita yang sudah sangat buruk, akan semakin hancur lebur berantakan jika harga BBM tidak naik. OK, yang penting aku sudah memberikan cara pandang yang lain pada para mahasiswa, yang sumpah mati, baru tahu bahwa keadaannya seperti itu.
Jadi, aku sebenarnya heran membaca komentar Kwik Kian Gie yang seolah-olah tidak mengerti masalah ini. Apalagi statementnya yang entah dirujuk dari mana, tentang biaya produksi bensin per liter yang (katanya) hanya Rp. 650,-. Kita hitung-hitungan seperti orang bodoh ajalah.
Harga minyak mentah dunia saat ini $127 per barel (160 liter). Itu berarti Rp 7900 per liternya. Lha harga bahan bakunya saja sudah Rp 7900,- per liter, lantas bagaimana Kwik mau menjual bensin dengan harga seperti sekarang ini, Rp 4800,-? Apalagi dengan hanya Rp 650,-.
Rizal Ramli pada berbagai kesempatan menengarai bahwa kondisi masyarakat yang sudah miskin ini akan semakin diperparah dengan kenaikan harga BBM. Statement itu ada benarnya. Tetapi bukan berarti bahwa harga BBM tidak boleh naik. Menurutku, harga BBM harus naik. Jika tidak, negara ini akan bangkrut. Yang perlu dilakukan adalah, naikkan pendapatan rakyat miskin. Pemerintah harus memikirkan bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Well, pro-kontra kenaikan harga BBM tidak akan pernah berhenti. Tetapi, berpikir realistik akan jauh lebih baik dan, percayalah, menyejukkan hati.