Lelah, dan berkeringat. Sakit gigiku kambuh, tetapi aku belum cukup berani untuk mengunjungi Dr. Poniman, dokter gigiku di Jalan Dago Atas. Aita, seperti biasanya, menyambutku dengan antusias ketika aku membuka pintu. Cium sayangnya hinggap di pipiku.
"Capek?", tanyanya, matanya menatapku khawatir.
"Ya, biasalah. Gigiku kambuh lagi.", jawabku.
"Sudah ke dokter?"
"Belum, belum berani."
"Ketika Dr. Anang menyuntikku tempo hari, aku juga merasa sakit. Tetapi aku harus melakukannya. Kalau tidak disuntik, sakit. Disuntik, juga sakit. Sama saja. Pilih yang mana? Ke dokter atau tidak?", tandasnya, sambil mencoba berargumentasi.
"Benar juga kau.", aku setuju, walaupun masih enggan mengkui kebenaran opininya.
"Tentu, aku benar."
"Iyalah, kita lihat saja besok. Kalau aku punya waktu, aku akan ke Dr. Poniman.", jawabku sambil mencoba berkilah.
"Dengar ya.", katanya sambil menggosok-gosokkan tubuhnya ke tubuhku. "Kalau kau ke dokter, gigimu akan nyeri ketika dibor. Dan jika kau tidak ke dokter, gigimu akan bertambah sakit. Sama-sama sakit. Kau akan pilih sakit yang mana?"
"Pintar kau!"
"Tentu! Kau! Ke dokter gigi saja susahnya minta ampun. Terbayangkah kau bagaimana orang-orang itu ketika memutuskan untuk meledakkan dirinya dan membunuh banyak orang lain hanya karena indoktrinasi yang memporak-porandakan nilai spiritual universal?"
"Tamba pintar, kau!"
"Hey ya, tentu. Aku adalah anjing terpandai di dunia!", ekornya bergoyang-goyang bangga.
Lelahku hilang. Aku akan ke dokter gigi besok!
Tuesday, November 15, 2005
Sakit Gigi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment