Seperti Duryudana, rasa rendah diri yang tidak perlu selalu muncul pada sebuah pribadi yang labil. Duryudana dengan kompleks yang dimilikinya, selalu menyalahkan lingkungan dan mengintrusi masalah-masalah sepele menjadi sebuah masalah besar dengan cara-cara yang tidak perlu. Ia yang sebenarnya merupakan sosok pemimpin, tak bisa mengakomodasikan kekuatan-kekuatan yang dimilikinya untuk menciptakan vektor yang sinergis bagi diri dan lingkungannya, sebaliknya, ia merusak seluruh potensi yang ada dengan mengakuisisi seisi dunia. Layaknya Duryudana, banyak kelompok-kelompok masyarakat yang dirugikannya, walaupun sebenarnya seluruh potensi untuk maju berada pada genggamannya. Mengapa demikian?
Fenomena seperti ini adalah sebuah keniscayaan pada sebuah masyarakat medioker. Tidak dapat dipungkiri bahwa masayarakat Indonesia yang penuh dengan dinamika sosial yang kompleks, gesekan kepentingan baik yang bersifat emosional psikis, maupun kepentingan-kepentingan ego yang tinggi tidak bisa dihindarkan. Namun, jika justifikasi kebersamaan dapat diambil dan respek yang berasal dari lubuk hati yang mengutamakan hakekat manusia berbudaya yang santun diutamakan, damai yang dinantikan oleh segelintir manusia Indonesia yang mau membuka hatinya, tidak hanya berupa angan-angan yang tak kesampaian.
Percayalah.
Sebuah pengakuan Duryudana di akhir hayatnya pada Krishna dan Yudhistira merupakan sebuah cermin bagi setiap orang:
Aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi sesuatu dalam diriku mendorongku dengan kuat untuk selalu menolak hal-hal yang baik, dan melakukan semua hal buruk.
Akukah itu?
No comments:
Post a Comment