
Di sisi lain, kurikulum nasional tahun 2004 menegaskan bahwa kurikulum pendidikan kita adalah kurikulum berbasis kompetensi. Seperti apa itu? Kurikulum berbasis kompetensi mudah untuk disebut-sebut, tetapi sulit dicirikan dan tidak mudah untuk diambil sarinya. Seorang rekan yang telah malang melintang melakukan assesment ke berbagai institusi pendidikan nasional pernah berbicara kepadaku; untuk mengajar seseorang teori menyetir mobil mudah saja. Namun, apakah kita dapat mempercayai seseorang yang telah hafal teori menyetir mobil untuk menjadi supir begitu saja? Tidak, kan? Untuk menjadi seorang supir yang kompeten, ia harus diberi fasilitas mobil, dan waktu untuk berlatih. Kurikulum berbasis kompetensi kira-kira harus mengadopsi hal seperti itu.
Sekarang, tanyakan kepada seluruh pengawas sekolah di Indonesia, berepa persen dari sekolah-sekolah itu yang telah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi di sekolahnya masing-masing? Jadi, aku lebih setuju jika uang 250 miliar rupiah itu digunakan untuk memperbaiki dan memfasilitasi sekolah-sekolah yang belum mampu untuk menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Dan serahkan kepada sekolah masing-masing atau daerah masing-masing untuk melakukan ujian bagi siswa-siswanya. Jadikan sekolah sebagai ajang untuk belajar, tidak sebagai tempat untuk mengejar ranking.
No comments:
Post a Comment