Monday, June 25, 2007

Marah

Sejak 2 bulan yang lalu, saya memang sedang super sibuk. Proposal yang harus dimasukkan pada tanggal 29 bulan yang akan datang, masih terus digodok. Pertarungan antar ego dan tanggung-jawab merupaka menu tim sehari-hari. Tekanan dari kiri-kanan sudah tak tertahankan lagi. Padahal, masih banyak tugas rutin yang harus saya perhatikan, termasuk tugas-tugas dari pimpinan departemen saya, atau sebagai anggota satgas dari berbagai platform. Tekanan besard atang secara tiba-tiba ketika komitmen beberapa unit dipertanyakan, padahal deadline semakin dekat. Sodokan-sodokan tak ber-perikemanusiaan terus muncul dan menghantui tidur, ketika saya tiba-tiba harus mengurusi ujian sertifikasi di unit saya. Kepala ini mau meledak, ketika Pak Taruban datang kepada saya, dan komplain bahwa dia tidak punya waktu untuk mengurusi tugas-tugas yangs aya berikan. "Lha, apakahs aya punya waktu??", saya berteriak dalam hati. Saya telah mencoba untuk melakukan pendekatan persuasif dan mencoba untuk menerangkan kondisi yang sama-sama kita hadapi. "Satu gagas, semua gagal!", itu selalu kata-kata yang saya lontarkan, sambil berharap agar Pak Taruban dapat mengerti. Mengerti, bahwa bukan hanya beliau yang harus berkorban, tetapi kita semua.
Muka saya merah padam, ketika beliau berkata kepada saya, "Dedikasi, sih dedikasi Pak, tapi saya kan perlu makan, dan saya sudah punya banyak komitmen. Masak, saya harus meninggalkan komitmen saya yang telah saya buat sejak beberapa waktu yang lalu? Yang bener aja, Pak!", celotehnya suatu saat. Saya mencoba untuk menahan diri, dan mengusap dada, "Lha kalau banyak komitmen, kenapa dulu bersedia untuk mengusulkan program pengembangan di proyek ini?", saya ngedumel dalam hati. Menahan marah, tentu.
Kemarin, saya capek sekali. Ketika saya pulang ke rumah, tiba-tiba istri saya marah-marah kepada saya hanya mungkin karena kesalah-pahaman. Saya meledak. Kepala saya pusing, dan urat leher saya menegang. Tangan saya melayang ke arah pintu di dekat saya, dan sekuat tenaga saya memukulkan tinju saya ke pintu. "Dhuuaarrr!!!", pintu meledak. Di ujung mata saya, air mata keluar memercik. Nafas memburu, dan dalam hati saya menangis. Saya merasa sangat sedih, sekaligus malu kepda diri sendiri.
Mungkin saya salah, telah membawa masalah di kantor ke rumah. Tetapi apa yang bisa saya lakukan ketika saya telah berada pada kondisi yang sangat tertekan? Saya hanya bisa menyesal, karena semua energi yang telahs aya kerahkan akhir-akhir ini untuk menahan marah, akhirnya sia-sia. Saya merasa kerdil, bersalah.
Setelah setelah itu, saya mencoba untuk meminta maaf kepada istri saya bahwa saya telah marah seperti itu, sambil menerangkan kepadanya bahwa akhir-akhir ini saya benar-benar merasa tertekan. Saya mohon kepadanya untuk membantu saya sedapat mungkin dengan memberikan dukungannya, pengertiannya.
Moga-moga ia mengerti.-

Saturday, June 23, 2007

Keras Kepala

Bu Indri terpaksa turun tangan menyelaraskan beberapa program yang tak kunjung selesai. Mas Andhar yang sudah sering stress, kembali bisa tersenyum ketika melihat pokok-pokok pikiran yang telah mulai tersusun, setelah Bu Indri mengambil alih beberapa penyusunan latar belakang dan rasionalisasi pengembangan program. Aku mendapat tugas untuk melakukan nurturing pengembangan program pemberdayaan institusi.
Setelah membaca ringkasan permasalahan yang telah dikembangkan oleh Bu Indri, mestinya sih program-program yang telah dikemas secara apik itu bisa come-up dengan mekanisme dan rancangan yang apik. Namun, tidak!
Dik Endang yang bertanggung jawab untuk mengembangkan program itu masih saja terus percaya dengan apa yang dalam kepalanya itu, walaupun secara sporadis dan kolektif, beberapa pendamping pengembang telah menyatakan bahwa apa yang ditulisnya itu salah. Jadi, tadi, sekitar jam 18:00, edisi ke-sekian dari pengembangan program pemberdayaan institusi masuk ke mejaku. Dan, duh!, masih tidak berubah. Jadi, sia-sialah apa yang telah dilakukan oleh Bu Indri yang aku tahu tadi malam tidak tidur sekejappun. Apa yang ada di kepala Dik Endang? Tidak ada yang tahu. Keras kepala.

Thursday, June 21, 2007

Teamwork

Sebuah kerja tengah dilakukan. Kerja besar. Untuk itu, proposal besar tengah dipersiapkan. Setiap personil yang terlibat, berusaha untuk memberikan yang terbaik dari dirinya. Tidak ada pertanyaan lagi, sebuah komitmen merupakan sebuah keniscayaan.
Tim penulis proposal telah dibentuk. Program besar dalam ranah komunikasi telah disepakati. Beres!
Sosialisasi ke seluruh jajaran eksekutif telah dilakukan. Tim malah telah berhasil menarik WB untuk turun gunung dan memimpin proses penulisan proposal secara formal. Beres!
Namun tidak disangka-sangka, aku melihat potensi destruksi dari sisi yang sama sekali tidak kuduga, teman sendiri. Sebuah tanggung jawab moral lantas dipertanyakan. Pak Maman secara sporadis mengusulkan agar proses pembuatan proposal di-drop saja. Sebaliknya, Bu Indri yang selalu berbicara lembut, masih optimis. Sebuah unit, unit Trans-Light, yang diidentifikasi sebagai penyebab demotivasi anggota penyusun proposal, menjadi bulan-bulanan. Tidak bisa disangkal, memang, bahwa komoditas etika yang satu ini, komitmen, selalu menjadi primadona dalam proses yang melibatkan aktivitas lintas-unit.

teamwork
definition: work done by several associates with each doing a part but all subordinating personal prominence to the efficiency of the whole :: Mirriam-WebsterOn-line

Friday, June 08, 2007

Lebih Baik Enggak Ngerti!

Sebuah kerja besar di bidang intensifikasi energi di organisasi ini sedang disusun. Kerja ini akan melibatkan aspek finansial yang tidak besar-besar amat, namun aspek perbaikan organisasi dan pola pikir kolektif yang signifikan akan terjadi. Benar, duit yang terlibat tidak besar, karena walaupun secara keseluruhan terlihat besar, 8M(!), namun karena jumlah unit yang terlibat banyak, jadi setiap unit hanya mendapatkan jatah yang cukup untuk menjalankan program-program non-reguler seadanya. Sehingga komitmen para pelaku organisasi ini sangat dituntut agar seluruh program yang direncanakan dapat berjalan dengan baik (dan benar).

Kerja besar direncanakan. Dan, sejak sekarang, sebuah kesibukan yang luar biasa telah terbayang di setiap kepala personil yang terlibat. Mas Andhar Bumi yang sibuk leading, selalu kena semprot dari kiri-kanan, oleh orang-orang yang bekerja, karena ritme kerja yang sangat tinggi. Mas Andhar tidak lelah-lelahnya meminta komitmen setiap orang, tidak capeknya menggedor setiap pintu untuk menyerahkan laporan evaluasi diri, yang telah menjadi tanggung jawab setiap unit. Aku, sebagai pelapis kedua personil penyusun proposal, mencoba mendukung semampuku, walaupun sering kedodoran kalau sudah bicara soal filosofi pengembangan program dengan Pak Maman Salim. Bahasa-bahasa surgawi lalu lalang di depan hidungku. Bu Indri B. Adriani dengan luwesnya selalu memiliki jalan bagi setiap konflik yang muncul. Bu Padmi Sastro, dengan sense of humornya selalu bisa menghidupkan gairah bekerja setiap personil yang terlibat. Dan beruntung kami memiliki Bu Mien Mandagi yang selalu bisa menengahi, diplomatis, dan membawa suasana damai di antara kami.

Tapi itu semua tidak cukup. Kami semuanya sadar bahwa kerja kami ini tidak akan ada gunanya jika sama sekali tidak ada komitment pimpinan. Maka grilya-pun dimulai. Bu Mien telah mencoba untuk menjembatani tim ini dengan Pak Boss. Sebuah pertemuan romantik-pun terlaksana. Beres, karena Pak Boss mengerti; (minimal telah mencoba untuk mengerti); seluruh pengembangan program yang telah kami bicarakan selama ini. Kami juga telah berhasil melakukan audisi di rapim. Pada prinsipnya, message telah kami sebarkan. Sekarang, terserah bagaimana khalayak menerimanya. Tapi, itupun tidak cukup!

Pak Wakil Boss (WB) bidang Energi hingga sekarang tidak pernah turun gunung untuk turut bergabung. Sejak awal penggodokan proposal ini, hingga sekarang yang nota bene telah berjalan kira-kira 4 bulan, Pak WB belum pernah bergabung dengan kami mendiskusikan dan mencoba mengerti apa yang sedang kami kerjakan. Pernah sih beliau kami undang untuk berdiskusi. Tapi kok susah bener nyambungnya.
Namun, akhirnya kami mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan beliau. Treng, bak prajurit yang tidak takut mati, aku, mas Andhar dan Bu Mien menghadap WB di suatu siang yang terik. Mas Andhar dengan gagah perkasanya mempresentasikan program yang sedang dibuat dan dibangun oleh teman-teman. Bu Mien yang bijak, mengangguk-angguk setiap kali Mas Andhar tiba dalam sebuat point penting. Presentasi beres, dan waktu diskusipun tiba.
Kami, sungguh, ternganga dan sedikit malu, ketika tahu bahwa pak WB ternyata tahu seluruh apa yang sedang kita kerjakan. Jangan ditanya soal komitment. Beliau dengan sigap, mengambil dan saat itu juga menyatakan bahwa Kantor WB akan bertanggung jawab atas segala pelaksanaan program ini. Kami benar-benar terperangah. Seluruh prototipe yang selama ini kami bayangkan, hancur lebur dalam seketika. Pak WB selama ini ternyata memang benar-benar sibuk, sehingga memang tidak bisa mengalokasikan waktu untuk kami. Dan saat itu pula, Pak WB berjanji untuk hadir dalam diskusi intern yang akan diselenggarakan pada minggu depan ini. Memang, kalau enggak ngerti, jangan sembangaran mengumbar bacot. Memang, lebih baik enggak ngerti sekalian!

Thursday, May 31, 2007

Pekerjaan Rumah

Seorang temanku bercerita bahwa anaknya saat ini sedang bersekolah di salah satu SMA Swasta di Bandung. Saat ini memang adalah saat-saat anak-anak sekolah mengisi waktunya untuk beraktivitas, sementara guru-guru sibuk memeriksa ujian-ujian. Sebagai seorang guru, aku juga merasakan sebuah dilema, bagaimana membuat para siswa sibuk beraktivitas dengan kegiatan yang menurutku "baik" dan "mendidik". Menurutku, banyak jalan keluar yang bisa diambil, tetapi hanya sedikit yang benar-benar bermanfaat. Celakanya, jalan keluar yang tidak bermanfaat selalu identik dengan jalan keluar termudah dan tidak banyak menyita waktu(ku). Salah satu yang menurutku baik adalah, memberi Pekerjaan Rumah.
Temanku tadi, dengan suara tinggi, tentu, justru protes bahwa anaknya saat ini punya tugas maha berat dari guru-gurunya, menyelesaikan pekerjaan rumah yang tadi kusebutkan di atas. "Lho kok protes?", tanyaku.
"Lha, kalau pekerjaan rumah biasa sih enggak apa-apa.", katanya. "Yang ini luar biasa!", ia melanjutkan. Ia menceritakan bahwa anaknya harus menyelesaikan 700 ratus soal dalam seminggu!
"What?", kataku. "Tujuh ratus soal?", aku meyakinkan diriku bahwa telingaku masih normal-normal saja.
"Benar!", temanku meyakinkanku bahwa memang demikianlah adanya.
Aku lantas terdiam. Yang ada saat itu adalah tanda tanya besar dalam kepalaku. Mau dijadikan apa anak-anak kita oleh guru-guru yang cara berpikirnya sangat irasional seperti itu? Menyelesaikan 700 persoalan dalam seminggu tidak akan membuat anak didik menjadi lebih pintar. Justru sebaliknya. Tugas-tugas bodoh seperti itu hanya membuat anak didik berubah menjadi seorang oportunist murahan yang kelak terdidik menjadi seorang koruptor besar. Gejalanya sudah ada. Lha, temanku lantas bercerita bahwa untuk menyelesaikan 700 soal seperti itu, anak-anak lantas membagi-bagi keseluruh teman-teman sekelas. Si A mengerjalan soal nomor sekian sampai sekian, si B dari sekian sampai sekian, si C dan si D mendapatkan posi yang lain. Akhirnya, amburadul! Benar-benar amburadul dan membuat perasaanku hari ini sangat nelangsa.

Monday, April 23, 2007

Tangan yang Menengadah

Jalan itu penuh dengan pengemis. Sehingga, aku selalu merasa risih untuk memperlihatkan bagian kota itu kepada tamu-tamuku yang mengunjungiku. Jalan Pasteur, namanya. Sebuah jalan protokol, gerbang kota Bandung, yang selalu menjadi pembicaraan orang ketika datang ke Bandung. Jalan Pasteur telah menjadi pilot project kota Bandung dalam hal mengimplementasikan UU K3 yang telah diratifikasi sejak beberapa tahun yang lalu. Mestinya, pengemis-pengemis itu tidak dapat dengan leluasa berkeliaran di sana, seakan-akan menyambut tamu kota Bandung, dan berteriak lantang, "Hai, Selamat Datang di Kota Bandung! Cepek Pak!".
Dilematis memang, memberi atau tidak memberi adalah sebuah pilihan. Ketika tangan menengadah, ada sebuah harapan yang tergambar di sana. Sebuah relik yang tak lekang, karena meminta dan memberi adalah sebuah proses yang sama tuanya dengan sang pertiwi. Masalah kemudian muncul ketika kita dihadapkan pada sebuah tanggung jawab moral untuk melakukan justifikasi pada penegakan pranata sistem dan empati. Sebuah pilihan yang tak henti diperdebatkan, lebih baikkah memberi ataukah tidak.
Namun saya percaya pada ajaran bahwa memberi dengan cuma-cuma hanya akan menciptakan bangsa yang lemah, tidak produktif, dan bermental budak.

Tuesday, March 20, 2007

Kontemplasi

Tidak banyak yang bisa kulihat, ketika tidak ada keinginan untuk itu. Tidak banyak yang dapat kuraih, walau sebenarnya aku telah menetapkan dimensi gerakku. Telunjukku sebenarnya telah dapat menetukan arahnya, kurasakan hal itu. Sering aku mengangguk sendiri, membenarkan isi hatiku. Namun terkadang aku ragu, apakah aku telah berjalan ke arah yang benar, mengikuti arah telunjukku.

Caka yang satu berakhir, yang lain berawal kembali. Saatnya, kurasakan. untuk merenungi itu semua. It's about my determination!, sering aku berteriak. So what? Ya, begitulah, waktu terus berjalan, habis, dan tanpa apa-apa. Namun, sering kali cinta membisikkan kata-katanya kepadaku, "Kau tidak punya waktu untukku!". Itu mungkin benar. Aku sadar bahwa aku termasuk orang yang tidak pernah mau menolak tanggung-jawab yang disodorkan kepadaku. Implikasi yang lantas timbul setelah itu seharusnya kusadari sepenuhnya. Namun kadang-kadang aku lupa untuk berandai-andai. Memang, kadang-kadang aku tidak punya imajinasi, begitu kata cinta.

Aku sempat berpikir, apakah aku memerlukan resolusi ataukah tidak. Karena kembali, telunjukku terus mengarah pada egoku. Kalau berbicara tentang benar atau salah, terkadang aku selalu memandang hal sebagai cinta yang hitam atau putih. Tak ada gradasi warna di sana. Tak ada titi nada sumbang. Yang ada adalah tonggak angkuh yang menunjuk ke arah kepalaku, terang, sempurna. Anehnya, aku selalu menyodorkan gradasi nada pada cinta. Aku tahu hal itu tidak fair. Tapi itulah aku.

Apakah aku memerlukan resolusi tahun baru? Mungkin tidak perlu. Namun aku mungkin tahu, hal itu muncul dalam ranah kesadaranku karena aku sering kali berubah menjadi defensif ketika keadaan membuatku terpojok. Apakah aku memerlukan resolusi tahun baru? Entah!

Yang pasti, aku tahu bahwa aku harus lebih baik di Caka yang akan datang. Pelahan, aku harus mengangkat bintangku dan menempatkannya di tempat yang mudah kulihat, yang pada gilirannya, akan selalu kuingat.

Monday, March 19, 2007

Terganggu

Akhir-akhir ini aku sering kali terganggu oleh hal-hal kecil. Tidak mudah memang untuk mengalokasikan berbagai masalah di kepalaku yang sudah penuh dengan berbagai masalah. Entah, mungkin karena tugas yang berjubel datang kepadaku membuatku seakan meledak. Aku mudah tersinggung, dan terkadang marah tak beralasan.

Akhir-akhir ini, Patricia sering menepuk bahuku, berbisik di telingaku, "Har, kau mudah marah!". Kalau sudah begitu, aku lantas terdiam, dan berusaha berkontemplasi. Tapi tidak mudah. Sering kali egoku muncul, dan mendadak memposisikan diriku sebagai orang tertindas.

Asap pembakaran sampah yang sore tadi memenuhi rumahku membuatku mendidih. Konsentrasiku hilang, padahal aku harus mempersiapkan soal-soal untuk ujian PTK besok. Kugelengkan kepalaku, dan mencoba untuk mengusir rasa amarahku.

Grrrhhh....!