Thursday, December 15, 2005

Carut Marut Beras Impor

Diambil tanpa ijin dari Tempo Interaktif

Lampu hijau untuk impor beras tahap kedua telah dinyalakan. Tahun depan, pemerintah mungkin meningkatkan stok tanpa impor.

Pintu impor beras masih akan terbuka lebar. Dalam rapat konsultasi dengan pimpinan MPR, DPR, dan DPD di Istana Negara pekan lalu, pemerintah menyatakan tetap memegang agenda stok beras sebesar satu juta ton. Konsekuensinya? ”Kemungkinan dan kelihatannya impor akan dilanjutkan,” ujar Ketua DPR Agung Laksono setelah bertemu Presiden dan Wakil Presiden.
Isyarat bahwa impor beras tetap berlangsung juga datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Setelah mengikuti rapat koordinasi di Departemen Perdagangan pekan lalu, dia menyatakan bahwa stok beras yang ada saat ini kembali menyusut karena pemakaian. Ujung-ujungnya, dia menyebut perlunya penambahan agar stok tetap di kisaran sejuta ton.

Kendati di tingkat atas lampu hijau untuk impor beras tahap berikutnya telah dinyalakan, para pejabat pelaksana masih enggan memberi komentar. ”Setahu saya belum ada keputusan tentang izin baru untuk impor,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan, Diah Maulida.

Keengganan Diah mengomentari impor beras bisa dimaklumi karena kebijakan ini terbilang ”bola liar”. Sejak berupa wacana pun, isu impor beras sudah menuai tentangan dari berbagai penjuru. Suara penolakan semakin ramai pada pertengahan tahun, ketika pemerintah menjajakan gagasan impor beras ke DPR. Pemerintah menilai impor beras perlu karena produksi beras tahun ini diprediksi lebih sedikit ketimbang kebutuhan konsumsi.
Buntut dari ancaman defisit adalah harga bisa tak terkendali di penghujung tahun. Pemerintah menyebut dua kejadian yang dapat memicu harga hingga tak terkendali. Pertama, kenaikan harga bahan bakar minyak di akhir Oktober. Kedua adalah rentetan perayaan hari besar, seperti Lebaran, Natal, dan Tahun baru.

Ini asal-muasal pemerintah berkeinginan mempertahankan stok beras sebesar satu juta ton. Yang dimaksud dengan stok beras di sini adalah stok milik pemerintah yang dikelola oleh Perum Bulog. Di saat harga normal, pemerintah menggunakan tabungan beras ini untuk semata-mata kebutuhannya sendiri, seperti program pengadaan beras untuk masyarakat miskin, yang biasa disebut beras miskin, kerap disingkat raskin.

Di saat harga melejit, stok inilah yang diandalkan sebagai peredam. Jika harga beras di sebuah daerah naik hingga 25 persen selama tiga bulan, maka pemerintah akan mengguyurkan stok beras ke daerah tersebut. Istilah yang kerap dipakai adalah operasi pasar.

Alasan impor beras yang dikemukakan pemerintah tak serta-merta ditelan. Banyak pihak meragukan Indonesia akan tekor beras pada tahun ini. ”Saya malah menduga tahun ini akan surplus,” kata Siswono Yudhohusodo, Ketua Badan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani dan Nelayan Indonesia. Ia merujuk kepada antengnya tingkat harga beras sepanjang tahun ini.
Keraguan bahwa Indonesia terancam defisit terutama disebabkan oleh selisih data yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian, yang nota bene sama-sama lembaga pelat merah.

Departemen Pertanian menghitung, tahun ini ada surplus, kelebihan produksi padi di atas konsumsi beras, sebesar 1,6 juta ton. Perhitungan Departemen Pertanian berselisih tak tanggung-tanggung, sekitar dua juta ton, dengan kalkulasi BPS, yang menyebutkan bahwa Indonesia dibayangi defisit beras 650 ribu ton.

Cara kedua lembaga itu menghitung sebenarnya sama, yaitu mengurangi prediksi angka produksi dengan ramalan kebutuhan konsumsi. Hitung-hitungan perkiraan produksi kedua lembaga itu tak berbeda, sekitar 33 juta ton per tahun. Angka produksi lebih mudah direka karena dalam setahun BPS lima kali mengeluarkan data proyeksi produksi beras

”Yang menjadi pemicu perbedaan adalah angka konsumsi,” ujar Anton. Cara Departemen Pertanian maupun BPS menghitung konsumsi sebenarnya tak beda. Mereka menjumlahkan angka konsumsi langsung, yaitu konsumsi rumah tangga dengan konsumsi antara, yang merupakan konsumsi industri seperti restoran atau pabrik. Kalau kemudian hasil yang didapat kedua badan itu berselisih hingga dua juta, itu karena perhitungan angka konsumsi didasarkan atas sejumlah asumsi. ”Soal ini memang bisa diperdebatkan,” ujar Anton.

Jika defisit bukan ancaman, tentu pemerintah tak perlu impor untuk menjaga stok beras di kisaran satu juta ton. Alih-alih mengendalikan harga, impor di saat surplus bisa-bisa malah merugikan petani lokal karena harga beras di dalam negeri bisa amblas. ”Saya setuju stok ditingkatkan. Syaratnya, beras dibeli dari petani lokal,” kata Siswono.

Permintaan ini ditampik oleh pemerintah. Dalihnya adalah pembelian dalam jumlah besar di pasar lokal bisa mendongkrak harga beras, sesuatu yang justru dihindari. Alasan lain adalah pemerintah terbentur ketentuan harga pembelian maksimal. Saat ini, Bulog hanya diizinkan membeli gabah dari petani dalam negeri harga per kilogram tak lebih dari Rp 1.330. Di saat menjelang dan setelah izin impor terbit, harga gabah petani berada di atas Rp 1.400 per kilo.
Niat pemerintah untuk mengimpor semakin tak terbendung sejak akhir Oktober. Dua syarat pembukaan pintu masuk beras dari luar negeri dinyatakan telah terpenuhi dalam rapat koordinasi di kantor Menteri Koordinator Perekonomian.

Harga beras kelas medium di 26 kota, menurut data BPS, telah mencapai Rp 3,650 per kilo, di atas harga persyaratan, yaitu Rp 3.500 per kilo. Persyaratan untuk impor pun terpenuhi secara paripurna karena stok beras di Bulog diklaim tersisa 950 ribu ton saja.

”Data untuk memuluskan impor ini menggelikan,” ujar Bustanul Arifin tanpa tertawa. Ia mengingat bahwa pemerintah pada pertengahan September pernah mengumumkan bahwa stok masih sebanyak 1,6 juta ton. ”Siapa yang bisa mengaudit penurunan yang luar biasa itu?”
Versi pemerintah menyebut penurunan stok terjadi karena peningkatan pembagian raskin. Selama beberapa bulan terakhir, permintaan untuk beras murah ini naik drastis. Dalam sebulan, Bulog mengaku dua kali menggelontorkan beras untuk orang miskin ini. Total stok beras yang diserap oleh rakyat miskin berkisar dari 150 ribu hingga 200 ribu ton per bulan.
Keputusan untuk mengimpor beras resmi diketuk. Bulog ditunjuk untuk memasukkan 250 ribu ton beras dari Vietnam. Waktu pelaksanaan impor dibagi selama tiga bulan, antara November hingga Januari. Bulog diberi lisensi mengimpor sebanyak 70.050 ton, 130 ribu ton, dan 45 ribu ton.

Izin tahap pertama telah diteken oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, awal bulan lalu. Dengan restu itu, Bulog berbelanja beras sebanyak 68 ribu ton. Harga satu ton beras, termasuk biaya angkut, adalah US$ 280.

Pelaksanaan impor tanpa disertai data dan angka yang lebih jelas, menyulut keberangan anggota Dewan. Seratus lebih anggota DPR yang berasal dari empat fraksi, PDIP, PAN, PKS, dan PPP, mengajukan hak angket pekan lalu. ”Kami merasa perlu menyelidiki kenapa kebijakan impor itu keluar,” ujar Cecep Rukmana dari Fraksi PAN.

Kecurigaan bahwa ada udang di balik batu soal impor beras ini tak hanya berasal dari persiapan yang semrawut. Saat dieksekusi, impor beras juga terlihat serampangan. Bulog, yang menjadi operator terlihat begitu ”cekatan”. Tanggal kapal tiba dengan saat penerbitan izin impor pun hanya berselang dua hari. Padahal, seorang pejabat pemerintah pernah memperkirakan impor beras dari Vietnam akan memakan waktu satu minggu. ”Sepertinya komitmen sudah dibuat sebelum izin turun,” Siswono menyimpulkan.

Awal bulan ini, kecurigaan Siswono ternyata tak meleset. Surat kabar asing memberitakan adanya dua kapal Vietnam dengan muatan 20 ribu ton tengah bersiap ke Indonesia. Berita itu mengagetkan karena Bulog yang baru mengantongi lisensi impor tahap pertama sudah memasukkan 68 ribu ton beras. Andai ingin menambah pun, jatah Bulog sesuai izin hanya sekitar 2.000 ton.

Akhir pekan lalu, Bulog mengakui bahwa muatan itu memang order mereka, namun telah dibatalkan. ”Semula itu disiapkan untuk pengiriman bulan Desember,” ujar Direktur Operasi Bulog Bambang Budi Prasetyo. Dia berdalih Bulog harus bergerak cepat karena lamanya tenggang waktu antara keputusan impor dan penerbitan izin impor.

Keperluan pemerintah mengimpor beras semakin dipertanyakan setelah beredar data Perdagangan Beras Dunia, semacam organisasi yang mengawasi lalu lintas perdagangan beras. Dalam tabel negara pengimpor, nama Indonesia tercantum dengan beras pesanan sebanyak 900 ribu ton. Angka itu dikompilasi dari data di pelabuhan negara eksportir beras.

Departemen Perdagangan, sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan izin impor, mengaku tak tahu-menahu dari mana angka sebesar itu datang. ”Kami tak pernah memberikan izin dalam jumlah sebesar itu,” ujar Diah.

Selain izin impor ke Bulog untuk menjaga stok, Departemen Perdagangan sepanjang tahun ini juga menerbitkan izin impor beras khusus sebanyak 255 ribu ton. Sebenarnya, pemberian izin khusus ini sudah lama. Secara teoretis, izin ini hanya diterbitkan untuk jenis beras yang tak dihasilkan di Indonesia serta jenis beras yang digunakan untuk proses produksi. Lembaga donor semacam World Food Programme juga diperbolehkan melalui jalur impor khusus ini.
Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo mensinyalir jalur khusus inilah yang ditumpangi oleh para penyelundup beras. ”Kemungkinan impor tak terdeteksi lebih besar melalui jalur ini daripada impor yang dilakukan oleh Bulog,” kata Widjanarko, awal bulan ini.

Sinyalemen ini ibarat bumerang bagi Anton, yang kerap mengambil posisi berseberangan dengan para koleganya ketika membahas izin impor untuk Bulog. ”Belakangan ini, rekomendasi untuk impor sudah saya tolak,” ujar Anton. Departemen Perdagangan sebagai penerbit turut membela diri. ”Realisasi izin impor khusus untuk tahun ini tak sampai separuh,” kata Diah.
Sebelum impor beras tahap kedua diputuskan, sebaiknya pemerintah memperjelas asal-muasal angka 900 ribu ton tersebut. Jika benar ada beras sebanyak itu mengalir ke Indonesia, praktis angka defisit yang dihitung oleh BPS tertutup. Lalu, apa perlunya impor beras?

THW, Efri Ritonga, Yura Syahrul

No comments: