Wednesday, December 21, 2005

Negara tidak Berhak Mengatur Agama

Kebebasan Berkeyakinan tak Bisa Dirampas
Negara tidak Berhak Mengatur Agama

BANDUNG, (PR).-Pluralisme adalah satu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat. Perbedaan selalu hadir dalam berbagai hal, misalnya dalam hal keyakinan, suku, maupun kebutuhan ekonomi.

Menurut M.M. Billah dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pluralisme telah menjadi dasar dari kemunculan demokrasi. Ia mengatakan, demokrasi memiliki makna implisit yang sudah mengakui adanya pluralisme.

”Pluralisme itu tidak apa-apa sejauh anggota-anggota dalam masyarakat pluralis itu tidak melakukan tindakan yang melanggar hak asasi orang lain,” katanya kepada ”PR” di sela-sela seminar ”Agama dan Negara: Politik Negara dalam Melindungi Kebebasan Beragamadan Berkeyakinan di Indonesia”, kemarin.

Dalam seminar yang diselenggarakan di Hotel Santika, Jln. Sumatera, Bandung, Billah mengatakan, negara memang berperan dalam mengatur kehidupan masyarakat yang beragam, termasuk juga dalam hal perbedaan keyakinan.

Namun, katanya, pengaturan itu terbatas pada bagaimana masing-masing orang mengekspresikan keyakinannya supaya tidak merugikan atau melanggar hak orang lain. ”Agama yang dalam arti keyakinan itu adalah wilayah privat. Negara tidak memiliki kewenangan untuk mengatur itu,” ujarnya.

Dia menjelaskan, dari segi hak asasi manusia, ada sikap berbeda antara kebebasan berpikir dan berkeyakinan dengan kebebasan bertindak. Menurut dia, kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak yang melekat, tidak bisa dibatasi, tidak bisa ditunda, dan tidak bisa dirampas. Namun, kebebasan bertindak memang bisa diatur.

Pengaturan kebebasan bertindak, kata Billah, bisa dilakukan dengan mengeluarkan undang-undang atau kesepakatan masyarakat. Berdasarkan yurisprudensi internasional, kebijakan yang berkaitan dengan HAM memang diatur dalam bentuk UU.

”Ini tidak boleh diatur dalam bentuk keputusan menteri, tidak boleh pula dengan peraturan daerah,” tuturnya. Menurut dia, menteri tidak memiliki kewenangan mengatur dan membatasi kebebasan HAM.

Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama memang telah mengeluarkan surat keputusan bersama mengenai pendirian tempat ibadah. “Mendirikan tempat ibadah dan menyiarkan agama adalah termasuk freedom to act bukan freedom to be,” katanya. Dijelaskannya, hal seperti ini memang bisa diatur dalam UU bukan peraturan menteri.

Namun, ia mengatakan,pengaturan itu juga bisa dikembalikan ke masyarakat. Bila masyarakat sudah mengatur sendiri, katanya, maka tidak akan terjadi keonaran.

Menurut Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace, Siti Musdah Mulia, kebijakan pemerintah yang hanya mengakui lima agama membuat para penganut agama lain tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Misalnya hak untuk dicatatkan perkawinan dan kelahiran mereka. Akhirnya, mereka tidak memiliki akta nikah dan akta kelahiran.

”Kondisi itu menjadikan tidak adanya proteksi hukum bagi istri dan anak-anak. Ini memiliki risiko buruk bagi masa depan mereka. (CW-9)***

No comments: