Saturday, December 31, 2005

Bom Lagi

Pagi ini, sebuah bom berkekuatan cukup tinggi meledak di Poso - Palu. Lebih 40 orang luka berat, dan banyak yang meninggal. Bom ini meledak di sebuah tempat penjualan daging babi dan daging anjing. Sementara itu, beberapa bom tidak meledak di Pematangsiantar dan Lampung (di rumah Ketua DPRD) dan Kendari. Apa artinya ini? BIN dan pihak kepolisian kebobolan lagi? Duh!

Para teroris pengecut masih terus mencoba untuk mengacak-acak Indonesia. Yang menyedihkan, masih saja ada orang Indonesia sendiri yang mencoba untuk membunuh saudaranya sendiri hanya karena perbedaan ideologi dan paham primodialisme sempit. Ingin sekali aku melihat muka mereka jika ada salah satu sanak keluarga mereka yang juga menjadi korban. Ingin sekali.

Update:

  • Kapolri: Tahun 2006 masih rawan bom.
  • Palu diguncang bom.
  • Ledakan di Palu tewaskan 8 orang.
  • Indonesia bomb leaves eight dead.
  • Ny. Yoppie tewas seketika.
  • Bus Palu - Poso dibom.
  • Korban bom Palu bertambah!
  • Sejumlah besar bom siap ledak ditemukan di Kendari.
  • Bom ditemukan di rumah Ketua DPRD Lampung.
  • SBY menginstruksikan Jajaran Polkam untuk mengusut insiden ini.
  • Pelaku bom Poso bukan kelompok Noordin M. Top?
  • Mirip bom Tentena.
  • Data lengkap korban bom Palu.
  • Tim forensik olah TKP di Palu.
  • Ingin merusak citra SBY?
  • Polisi tutup semua pintu keluar Palu.
  • Pelaku bom Palu teridentifikasi.
  • Kota Palu dalam penjagaan ekstra ketat.
  • Aksi-aksi teror di Indonesia.
  • Bom Palu dibawa dengan mobil.
  • Pola pengamanan Palu perlu perhatian khusus.
  • Pemerintah berikan perhatian khusus untuk SulTeng.
  • Pertanda buruk di tahun 2006?
  • Wapres tak mau spekulasi.
  • Sumatera Utara Siaga I.
  • Tiga daerah terteror.
  • Widodo: Perlu gugus tugas untuk bom Palu.
  • Kapolri mendadak kunjungi Palu.
  • Polisi Telah Identifikasi Pelaku Bom Palu.
  • BIN dinilai lupakan daerah konflik.
  • Pertokoan di Palu tutup.
  • Tim gabungan Polri kumpulkan serpihan bom.
  • Seorang ditahan terkait bom Palu.
  • M ditangkap dan diinterogasi.
  • Beberapa korban bom Palu masih dirawat.
  • Kapolri: segera ungkap pelaku bom Palu.
  • Wednesday, December 21, 2005

    Negara tidak Berhak Mengatur Agama

    Kebebasan Berkeyakinan tak Bisa Dirampas
    Negara tidak Berhak Mengatur Agama

    BANDUNG, (PR).-Pluralisme adalah satu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat. Perbedaan selalu hadir dalam berbagai hal, misalnya dalam hal keyakinan, suku, maupun kebutuhan ekonomi.

    Menurut M.M. Billah dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pluralisme telah menjadi dasar dari kemunculan demokrasi. Ia mengatakan, demokrasi memiliki makna implisit yang sudah mengakui adanya pluralisme.

    ”Pluralisme itu tidak apa-apa sejauh anggota-anggota dalam masyarakat pluralis itu tidak melakukan tindakan yang melanggar hak asasi orang lain,” katanya kepada ”PR” di sela-sela seminar ”Agama dan Negara: Politik Negara dalam Melindungi Kebebasan Beragamadan Berkeyakinan di Indonesia”, kemarin.

    Dalam seminar yang diselenggarakan di Hotel Santika, Jln. Sumatera, Bandung, Billah mengatakan, negara memang berperan dalam mengatur kehidupan masyarakat yang beragam, termasuk juga dalam hal perbedaan keyakinan.

    Namun, katanya, pengaturan itu terbatas pada bagaimana masing-masing orang mengekspresikan keyakinannya supaya tidak merugikan atau melanggar hak orang lain. ”Agama yang dalam arti keyakinan itu adalah wilayah privat. Negara tidak memiliki kewenangan untuk mengatur itu,” ujarnya.

    Dia menjelaskan, dari segi hak asasi manusia, ada sikap berbeda antara kebebasan berpikir dan berkeyakinan dengan kebebasan bertindak. Menurut dia, kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak yang melekat, tidak bisa dibatasi, tidak bisa ditunda, dan tidak bisa dirampas. Namun, kebebasan bertindak memang bisa diatur.

    Pengaturan kebebasan bertindak, kata Billah, bisa dilakukan dengan mengeluarkan undang-undang atau kesepakatan masyarakat. Berdasarkan yurisprudensi internasional, kebijakan yang berkaitan dengan HAM memang diatur dalam bentuk UU.

    ”Ini tidak boleh diatur dalam bentuk keputusan menteri, tidak boleh pula dengan peraturan daerah,” tuturnya. Menurut dia, menteri tidak memiliki kewenangan mengatur dan membatasi kebebasan HAM.

    Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama memang telah mengeluarkan surat keputusan bersama mengenai pendirian tempat ibadah. “Mendirikan tempat ibadah dan menyiarkan agama adalah termasuk freedom to act bukan freedom to be,” katanya. Dijelaskannya, hal seperti ini memang bisa diatur dalam UU bukan peraturan menteri.

    Namun, ia mengatakan,pengaturan itu juga bisa dikembalikan ke masyarakat. Bila masyarakat sudah mengatur sendiri, katanya, maka tidak akan terjadi keonaran.

    Menurut Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace, Siti Musdah Mulia, kebijakan pemerintah yang hanya mengakui lima agama membuat para penganut agama lain tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Misalnya hak untuk dicatatkan perkawinan dan kelahiran mereka. Akhirnya, mereka tidak memiliki akta nikah dan akta kelahiran.

    ”Kondisi itu menjadikan tidak adanya proteksi hukum bagi istri dan anak-anak. Ini memiliki risiko buruk bagi masa depan mereka. (CW-9)***

    Tuesday, December 20, 2005

    Bangsa yang Merendahkan Etos Kerja

    Diculik dari Kompas tanpa ijin.

    Oleh Dedi Muhtadi

    Perilaku sebuah bangsa tidak tercipta dalam waktu singkat, namun terbentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Bangsa ini kembali terpuruk dalam potret kecil olahraga di arena SEA Games XXIII yang berakhir Senin (5/12) di Manila. Dalam gambaran besar, bangsa ini dijuluki bangsa yang berperilaku tidak menghargai proses, tidak suka kerja keras, tetapi ingin serba instan. Mengapa semua itu bisa terjadi?

    Lihatlah kondisi perguruan tinggi yang sudah lama mengalami ”kecelakaan”. Sebanyak 99 persen dari dosennya merupakan lulusan sendiri yang mengambil S2 dan S3 di dalam negeri. Sebagian besar dari mereka kemudian mengajar dan menguji.

    Sementara itu daya serap mahasiswa terhadap mata kuliah yang disuapi dosennya hanya 20-30 persen. Situasi ini diperparah oleh perilaku sebagian besar mahasiswa yang tidak senang membaca buku. Padahal buku merupakan jendela dunia.

    Seorang panelis yang sebagian besar hidupnya dicurahkan di perguruan tinggi mengamati, baik dosen maupun mahasiswa kini tidak lagi menghargai disiplin. Sebelum tahun 1970-an atau pada zaman Soekarno, sikap ini masih bagus, dalam arti mereka tahu disiplin. Mengapa begitu, karena pelajaran dari bangsa Jepang dan Belanda masih menetes kepada para pemimpin bangsa saat itu.

    Akan tetapi, sejak tahun 1970-an perilaku unggul itu mulai merosot. Mereka mulai malas bekerja dan malas berdisiplin. Baik mahasiswa maupun dosen sering bolos. Menurut penelitiannya, selama 40 tahun mengajar tidak ada satu mahasiswa pun yang mengikuti kuliah tiap minggu dalam satu semester lengkap.

    ”Paling banyak kehadiran mahasiswa hanya 10 kali dalam satu semester. Padahal saya sudah melakukan peringatan, sindiran atau marah, dan sebagainya, tidak digubris,” keluhnya. Artinya, dorongan bermalas-malas di kalangan sivitas akademika sangat kuat. Yang paling parah, para dosennya sendiri juga suka bolos.

    Gejala umum ini ternyata tidak hanya di kalangan perguruan tinggi, tapi merembet ke sekolah- sekolah rendah dan menengah. Ada suatu anggapan bahwa setelah SMA dan masuk perguruan tinggi, mereka semua bisa hidup bebas. Mau datang kuliah, mau bolos, tidak apa-apa. Ini amat mengherankan, gejala itu tumbuh subur pada saat negeri ini membangun pada masa Orde Baru.
    Demikian juga perilaku pegawai di perguruan tinggi yang harusnya datang pukul 07.00, pada umumnya datang pada pukul 09.00. Kalau kita membicara- kan jadwal kuliah, tidak ada dosen yang mau mengajar pada pukul 07.00. Maunya mereka mengajar di atas pukul 09.00 atau pukul 10.00. Ketika panelis ini mengajar pada jadwal pukul 07.00, dari 50-80 mahasiswa yang datang tepat waktu cuma 10 orang.

    Menurut pengalamannya, setelah satu jam, masuklah mereka satu demi satu. Masuknya juga unik, setelah buka pintu langsung duduk. Tidak ada yang minta maaf karena keterlambatan itu. Mereka menganggap, kuliah ini hak kita, jadi bebas mau kuliah atau tidak. Lebih jauh lagi, pada umumnya mereka tidak mau belajar keras serta tidak senang membaca buku.

    ”Pernah sekali waktu saya periksa diktat yang sudah saya bagikan. Benar-benar mengherankan, saya lihat diktat itu bersih sekali. Tidak ada catatan dari dia sehingga waktu ujian banyak yang tidak bisa jawab. Padahal semuanya ada di diktat,” tuturnya.

    Pendidikan antikerja

    Sebuah analisis terhadap perilaku masyarakat di negara maju menyatakan, mayoritas penduduknya sehari-hari mengikuti prinsip-prinsip dasar kehidupan. Misalnya, menghargai etika, kejujuran dan integritas, bertanggung jawab, hormat pada aturan dan hukum masyarakat, hormat pada hak orang/warga lain, cinta pada pekerjaan, berusaha keras menabung dan investasi, bekerja keras hingga tepat waktu.

    Para mahasiswa di negara-negara maju menyebut belajar itu bekerja. Di Amerika Serikat, misalnya, kalau mahasiswa itu berkata, I must to work, itu artinya belajar atau kuliah. Namun, di republik ini para mahasiswa tidak menganggapnya demikian. Pernah seorang menteri pendidikan menyatakan, anak-anak lebih suka sekolah, tapi tidak suka kerja. Celakanya, dalam kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, terkesan anti- kerja.

    Dalam kurikulum, program manual work hampir tidak pernah ada. Malah yang ada pun terus dianjurkan agar dihapus. Dulu yang mengadakan kurikulum jenis ini Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh negeri bekas jajahannya, mulai tahun 1970-an, kemudian diganti dengan nama resmi keterampilan atau kerajinan seni rupa. Pernah dalam diskusi IKIP seluruh Indonesia, bidang keterampilan kerajinan dipisahkan dari seni rupa.

    Pada zaman Ode Baru, semua media koran, televisi, radio dan sebagainya memublikasikan pembedaan itu. Jadi sekolah itu hanya untuk kerja mental, bukan kerja fisikal. Pernah ada pelajaran hasta karya. Tapi kemudian tidak boleh dipakai oleh murid-murid untuk melakukan apa-apa yang menghasilkan apa-apa.

    Yang mengatakan bahwa pelajaran seni dan hasta karya di sekolah-sekolah itu harus bebas berekspresi. Katanya yang penting bukan hasil, tapi proses, seraya tidak peduli hasilnya apa. Proses rasa bebas itu artinya kerja sembarangan dalam pelajaran seni rupa kerajinan dan sebagainya.

    Di kalangan masyarakat ada hubungan antara harkat manusia dan kerja manual. Makin banyak kerja manual manusia itu makin rendah harkatnya. Makin kurang kerja manual atau sama sekali tidak kerja manual, makin tinggi harkatnya. Kerja intelektual atau kerja mental, misalnya belajar ilmu, teori, filsafat, banyak sekali peminatnya karena makin tinggi harkatnya.

    Namun, yang kerja fisikal hanya sedikit saja karena harkatnya rendah. Kerja fisik itu bukan hanya dianggap rendah, tapi juga merupakan kerja orang-orang jelata. Itu kerja orang-orang miskin, sedangkan kerja orang-orang yang tidak begitu harus menjauhkan diri dari yang manual, dari yang fisikal.

    Situasi ini sama dengan zaman Yunani dan Romawi dulu. Di zaman Yunani kuno tersebut semua kerja yang bersifat fisikal manual dianggap tidak bermartabat.

    Bernilai rendah

    Ironisnya, dunia pendidikan di republik ini juga ”memusuhi” program yang berorientasi pasar. Sejumlah ahli design pernah mengeluhkan tentang perilaku di kampusnya yang tidak market friendly. Mereka merasa tertekan sebab kalau membuat design berorientasi pasar itu dianggap rendah. Yang bagus dan dihargai kalau design dibuat klasik atau bersifat scientific.

    Situasi ini berbeda dengan di luar negeri. Di negara maju itu hampir semua mahasiswanya bekerja. Yang tidak bekerja hanya mahasiswa Indonesia yang kebetulan dapat beasiswa dari pemerintah. Malah mereka bisa anteng bekerja di perpustakaan seperti menyusun buku yang secara fisik tidak mau dikerjakan mahasiswa Indonesia.

    ”Di AS, para mahasiswa S3 biasa mengobrol, pada last summer ia akan bekerja sebagai kontraktor membangun jembatan. Mereka tidak tahu bahwa kita menganggapnya rendah. Dalam hati saya, kok mahasiswa Amerika tingkatan doktor mau kerjaan seperti itu,” panelis ini mengungkapkan pengalamannya. Begitu juga mahasiswa Korea ketika libur, ada yang bekerja sebagai tukang kebun, yang umumnya tidak disukai oleh mahasiswa Indonesia.

    Bangsa ini menganggap kerja itu mempunyai nilai rendah. Artinya, kerja itu beban, kerja itu suatu keterpaksaan, kerja itu suatu siksaan. Manusia Indonesia pada umumnya bermimpi hidup senang, hidup enak, tanpa kerja. Lalu siapa yang menghasil- kan makanan dan sebagainya? Seperti pada zaman Yunani kuno, ya orang-orang rendah, rakyat jelata itu. Merekalah yang disuruh kerja, menghasilkan padi, misalnya.

    Nilai paling tinggi itu hidup senang. Hidup senang artinya punya banyak uang. Bagaimana menciptakan harta banyak tanpa kerja, ya korupsi itu....

    Saturday, December 17, 2005

    Keblinger


    Noordin M. Top bilang:

    "Musuh-musuh kami adalah Amerika, Inggris, Italia, Australia, ..."

    ...dan marilah kita bom dan luluh-lantakkan negara Islam terbesar di dunia, Indonesia!

    Bah!

    Thursday, December 15, 2005

    Carut Marut Beras Impor

    Diambil tanpa ijin dari Tempo Interaktif

    Lampu hijau untuk impor beras tahap kedua telah dinyalakan. Tahun depan, pemerintah mungkin meningkatkan stok tanpa impor.

    Pintu impor beras masih akan terbuka lebar. Dalam rapat konsultasi dengan pimpinan MPR, DPR, dan DPD di Istana Negara pekan lalu, pemerintah menyatakan tetap memegang agenda stok beras sebesar satu juta ton. Konsekuensinya? ”Kemungkinan dan kelihatannya impor akan dilanjutkan,” ujar Ketua DPR Agung Laksono setelah bertemu Presiden dan Wakil Presiden.
    Isyarat bahwa impor beras tetap berlangsung juga datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Setelah mengikuti rapat koordinasi di Departemen Perdagangan pekan lalu, dia menyatakan bahwa stok beras yang ada saat ini kembali menyusut karena pemakaian. Ujung-ujungnya, dia menyebut perlunya penambahan agar stok tetap di kisaran sejuta ton.

    Kendati di tingkat atas lampu hijau untuk impor beras tahap berikutnya telah dinyalakan, para pejabat pelaksana masih enggan memberi komentar. ”Setahu saya belum ada keputusan tentang izin baru untuk impor,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan, Diah Maulida.

    Keengganan Diah mengomentari impor beras bisa dimaklumi karena kebijakan ini terbilang ”bola liar”. Sejak berupa wacana pun, isu impor beras sudah menuai tentangan dari berbagai penjuru. Suara penolakan semakin ramai pada pertengahan tahun, ketika pemerintah menjajakan gagasan impor beras ke DPR. Pemerintah menilai impor beras perlu karena produksi beras tahun ini diprediksi lebih sedikit ketimbang kebutuhan konsumsi.
    Buntut dari ancaman defisit adalah harga bisa tak terkendali di penghujung tahun. Pemerintah menyebut dua kejadian yang dapat memicu harga hingga tak terkendali. Pertama, kenaikan harga bahan bakar minyak di akhir Oktober. Kedua adalah rentetan perayaan hari besar, seperti Lebaran, Natal, dan Tahun baru.

    Ini asal-muasal pemerintah berkeinginan mempertahankan stok beras sebesar satu juta ton. Yang dimaksud dengan stok beras di sini adalah stok milik pemerintah yang dikelola oleh Perum Bulog. Di saat harga normal, pemerintah menggunakan tabungan beras ini untuk semata-mata kebutuhannya sendiri, seperti program pengadaan beras untuk masyarakat miskin, yang biasa disebut beras miskin, kerap disingkat raskin.

    Di saat harga melejit, stok inilah yang diandalkan sebagai peredam. Jika harga beras di sebuah daerah naik hingga 25 persen selama tiga bulan, maka pemerintah akan mengguyurkan stok beras ke daerah tersebut. Istilah yang kerap dipakai adalah operasi pasar.

    Alasan impor beras yang dikemukakan pemerintah tak serta-merta ditelan. Banyak pihak meragukan Indonesia akan tekor beras pada tahun ini. ”Saya malah menduga tahun ini akan surplus,” kata Siswono Yudhohusodo, Ketua Badan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani dan Nelayan Indonesia. Ia merujuk kepada antengnya tingkat harga beras sepanjang tahun ini.
    Keraguan bahwa Indonesia terancam defisit terutama disebabkan oleh selisih data yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian, yang nota bene sama-sama lembaga pelat merah.

    Departemen Pertanian menghitung, tahun ini ada surplus, kelebihan produksi padi di atas konsumsi beras, sebesar 1,6 juta ton. Perhitungan Departemen Pertanian berselisih tak tanggung-tanggung, sekitar dua juta ton, dengan kalkulasi BPS, yang menyebutkan bahwa Indonesia dibayangi defisit beras 650 ribu ton.

    Cara kedua lembaga itu menghitung sebenarnya sama, yaitu mengurangi prediksi angka produksi dengan ramalan kebutuhan konsumsi. Hitung-hitungan perkiraan produksi kedua lembaga itu tak berbeda, sekitar 33 juta ton per tahun. Angka produksi lebih mudah direka karena dalam setahun BPS lima kali mengeluarkan data proyeksi produksi beras

    ”Yang menjadi pemicu perbedaan adalah angka konsumsi,” ujar Anton. Cara Departemen Pertanian maupun BPS menghitung konsumsi sebenarnya tak beda. Mereka menjumlahkan angka konsumsi langsung, yaitu konsumsi rumah tangga dengan konsumsi antara, yang merupakan konsumsi industri seperti restoran atau pabrik. Kalau kemudian hasil yang didapat kedua badan itu berselisih hingga dua juta, itu karena perhitungan angka konsumsi didasarkan atas sejumlah asumsi. ”Soal ini memang bisa diperdebatkan,” ujar Anton.

    Jika defisit bukan ancaman, tentu pemerintah tak perlu impor untuk menjaga stok beras di kisaran satu juta ton. Alih-alih mengendalikan harga, impor di saat surplus bisa-bisa malah merugikan petani lokal karena harga beras di dalam negeri bisa amblas. ”Saya setuju stok ditingkatkan. Syaratnya, beras dibeli dari petani lokal,” kata Siswono.

    Permintaan ini ditampik oleh pemerintah. Dalihnya adalah pembelian dalam jumlah besar di pasar lokal bisa mendongkrak harga beras, sesuatu yang justru dihindari. Alasan lain adalah pemerintah terbentur ketentuan harga pembelian maksimal. Saat ini, Bulog hanya diizinkan membeli gabah dari petani dalam negeri harga per kilogram tak lebih dari Rp 1.330. Di saat menjelang dan setelah izin impor terbit, harga gabah petani berada di atas Rp 1.400 per kilo.
    Niat pemerintah untuk mengimpor semakin tak terbendung sejak akhir Oktober. Dua syarat pembukaan pintu masuk beras dari luar negeri dinyatakan telah terpenuhi dalam rapat koordinasi di kantor Menteri Koordinator Perekonomian.

    Harga beras kelas medium di 26 kota, menurut data BPS, telah mencapai Rp 3,650 per kilo, di atas harga persyaratan, yaitu Rp 3.500 per kilo. Persyaratan untuk impor pun terpenuhi secara paripurna karena stok beras di Bulog diklaim tersisa 950 ribu ton saja.

    ”Data untuk memuluskan impor ini menggelikan,” ujar Bustanul Arifin tanpa tertawa. Ia mengingat bahwa pemerintah pada pertengahan September pernah mengumumkan bahwa stok masih sebanyak 1,6 juta ton. ”Siapa yang bisa mengaudit penurunan yang luar biasa itu?”
    Versi pemerintah menyebut penurunan stok terjadi karena peningkatan pembagian raskin. Selama beberapa bulan terakhir, permintaan untuk beras murah ini naik drastis. Dalam sebulan, Bulog mengaku dua kali menggelontorkan beras untuk orang miskin ini. Total stok beras yang diserap oleh rakyat miskin berkisar dari 150 ribu hingga 200 ribu ton per bulan.
    Keputusan untuk mengimpor beras resmi diketuk. Bulog ditunjuk untuk memasukkan 250 ribu ton beras dari Vietnam. Waktu pelaksanaan impor dibagi selama tiga bulan, antara November hingga Januari. Bulog diberi lisensi mengimpor sebanyak 70.050 ton, 130 ribu ton, dan 45 ribu ton.

    Izin tahap pertama telah diteken oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, awal bulan lalu. Dengan restu itu, Bulog berbelanja beras sebanyak 68 ribu ton. Harga satu ton beras, termasuk biaya angkut, adalah US$ 280.

    Pelaksanaan impor tanpa disertai data dan angka yang lebih jelas, menyulut keberangan anggota Dewan. Seratus lebih anggota DPR yang berasal dari empat fraksi, PDIP, PAN, PKS, dan PPP, mengajukan hak angket pekan lalu. ”Kami merasa perlu menyelidiki kenapa kebijakan impor itu keluar,” ujar Cecep Rukmana dari Fraksi PAN.

    Kecurigaan bahwa ada udang di balik batu soal impor beras ini tak hanya berasal dari persiapan yang semrawut. Saat dieksekusi, impor beras juga terlihat serampangan. Bulog, yang menjadi operator terlihat begitu ”cekatan”. Tanggal kapal tiba dengan saat penerbitan izin impor pun hanya berselang dua hari. Padahal, seorang pejabat pemerintah pernah memperkirakan impor beras dari Vietnam akan memakan waktu satu minggu. ”Sepertinya komitmen sudah dibuat sebelum izin turun,” Siswono menyimpulkan.

    Awal bulan ini, kecurigaan Siswono ternyata tak meleset. Surat kabar asing memberitakan adanya dua kapal Vietnam dengan muatan 20 ribu ton tengah bersiap ke Indonesia. Berita itu mengagetkan karena Bulog yang baru mengantongi lisensi impor tahap pertama sudah memasukkan 68 ribu ton beras. Andai ingin menambah pun, jatah Bulog sesuai izin hanya sekitar 2.000 ton.

    Akhir pekan lalu, Bulog mengakui bahwa muatan itu memang order mereka, namun telah dibatalkan. ”Semula itu disiapkan untuk pengiriman bulan Desember,” ujar Direktur Operasi Bulog Bambang Budi Prasetyo. Dia berdalih Bulog harus bergerak cepat karena lamanya tenggang waktu antara keputusan impor dan penerbitan izin impor.

    Keperluan pemerintah mengimpor beras semakin dipertanyakan setelah beredar data Perdagangan Beras Dunia, semacam organisasi yang mengawasi lalu lintas perdagangan beras. Dalam tabel negara pengimpor, nama Indonesia tercantum dengan beras pesanan sebanyak 900 ribu ton. Angka itu dikompilasi dari data di pelabuhan negara eksportir beras.

    Departemen Perdagangan, sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan izin impor, mengaku tak tahu-menahu dari mana angka sebesar itu datang. ”Kami tak pernah memberikan izin dalam jumlah sebesar itu,” ujar Diah.

    Selain izin impor ke Bulog untuk menjaga stok, Departemen Perdagangan sepanjang tahun ini juga menerbitkan izin impor beras khusus sebanyak 255 ribu ton. Sebenarnya, pemberian izin khusus ini sudah lama. Secara teoretis, izin ini hanya diterbitkan untuk jenis beras yang tak dihasilkan di Indonesia serta jenis beras yang digunakan untuk proses produksi. Lembaga donor semacam World Food Programme juga diperbolehkan melalui jalur impor khusus ini.
    Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo mensinyalir jalur khusus inilah yang ditumpangi oleh para penyelundup beras. ”Kemungkinan impor tak terdeteksi lebih besar melalui jalur ini daripada impor yang dilakukan oleh Bulog,” kata Widjanarko, awal bulan ini.

    Sinyalemen ini ibarat bumerang bagi Anton, yang kerap mengambil posisi berseberangan dengan para koleganya ketika membahas izin impor untuk Bulog. ”Belakangan ini, rekomendasi untuk impor sudah saya tolak,” ujar Anton. Departemen Perdagangan sebagai penerbit turut membela diri. ”Realisasi izin impor khusus untuk tahun ini tak sampai separuh,” kata Diah.
    Sebelum impor beras tahap kedua diputuskan, sebaiknya pemerintah memperjelas asal-muasal angka 900 ribu ton tersebut. Jika benar ada beras sebanyak itu mengalir ke Indonesia, praktis angka defisit yang dihitung oleh BPS tertutup. Lalu, apa perlunya impor beras?

    THW, Efri Ritonga, Yura Syahrul

    Budaya Membuang Sampah

    Ketika aku di sebuah foodcourt pusat perbelanjaan di Bandung, seorang ibu dengan enaknya dan merasa tidak bersalah, tanpa beban apa-apa, membuang tissu yang baru digunakannya ke lantai. Aku mencoba untuk memberikan isyarat terganggu akibat ulahnya dengan bahasa tubuhku, tetapi sang ibu tampak cuek dan berlenggang meninggalkanku sendiri yang melongo takjub.

    Dalam sebuah penerbangan lokal dengan Adam Air, seorang anak kecil tiba-tiba merengek kepada ibunya, "Ma, sudah selesai, kaleng Coca Colanya sudah kosong!". Dengan tenangnya sang Ibu menjawab, "Buang aja!". Astaga!

    Kapan mind-set kita berubah untuk lebih mengutamakan kebersihan dengan sedikit pengorbanan untuk tidak membuang sampah sembarangan?

    Sunday, December 11, 2005

    Agama Damai

    Keponakan perempuanku yang sedang beranjak dewasa bertanya kepadaku, "Ji, apakah orang lain berhak memarahiku hanya karena aku tidak percaya dengan apa yang dipercayanya?"
    "Secara teknis, ia tidak berhak.", jawabku agak berdiplomatis.
    "Jadi, apakah pada kenyataannya ia berhak berbuat demikian?", alisnya terangkat.
    "Ya, tapi hanya di negeri ini, di Indonesia.", jawabku tersenyum.
    "Oh, di tempat lain bagaimana?"
    "Bahkan di negeri jiranpun, orang tidak akan ikut campur pada apa yang menjadi hak hakiki seorang manusia lain. Ya, hal itu terjadi hanya di negeri ini, Indonesia."
    "Mengapa mereka berbuat seperti itu?"
    "Karena itulah yang diajarkan pada sebagian manusia Indonesia.", jawabku sambil lalu.
    "Oh, jadi ajaran yang diajarkan di Indonesia itu keliru?"
    "Ya dan tidak."
    "Lho kok jawabannya plin plan?"
    "Begini Ca, ya karena memang itulah kenyataannya. Ajaran untuk membenci dan memusuhi orang lain yang tak seiman itu memang nyata adanya di sini, di Indonesia. Tidak, karena kaupun bisa membaca di media massa bahwa ajaran kebencian ini dalam beberapa hal, ternyata bukan monopoli Indonesia saja. Di sebuah kawasan, telah berabad-abad lamanya umat manusia di sana selalu berperang dan saling bunuh atas nama Tuhan."
    "Ah Ji, kau salah. Bukankah semua agama mengajarkan kedamaian?", ia mengangkat alisnya, protes.
    "Ca, coba kau definisikan apa itu agama damai!"
    "OK, agama damai adalah agama yang ajarannya menyejukkan hati siapapun yang mendengarkan. Agama damai adalah agama yang menawarkan damai tidak saja bagi pemeluknya, namun juga bagi orang-orang yang memiliki keyakinan lain.", jawabnya. Tampak kepuasan dalam matanya yang bening.
    "Apa lagi?"
    "Agama damai adalah agama yang kitab sucinya bersih dari anjuran-anjuran memerangi dan membunuh orang lain, walaupun orang lain itu memiliki keyakinan yang berbeda. Agama damai adalah agama yang kitab sucinya tidak mendeskreditkan umat yang tidak seiman sebagai orang-orang terkutuk.", lanjutnya tambah bersemangat.
    "Dan....?", kataku sambil memancing.
    "Agama damai adalah agama yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Sang Maha Baik dan tidak mengajarkan paham deskriminasi, artinya setiap mahluk hidup di jagat raya - termasuk binatang dan tumbuhan - berhak untuk mendapatkan kemajuan dan kesempurnaan spiritual. Seluruh mahluk hidup memiliki nilai dan kesempatan yang sama di hadapanNya.", ia mencoba untuk berfilosofi.
    "Dan...?"
    "Agama damai adalah agama yang memiliki pemuka-pemuka agama yang arif dalam menjelaskan hakikat agamanya. Agama damai adalah agama yang umatnya memiliki hati yang besar, cukup besar untuk menampung rasa cinta, tenggang rasa, bertoleransi dan berempati pada seluruh jenis manusia, seiman atau tak seiman."
    "Hati-hati Ca. Kau sudah mulai membawa umat segala. Yang kita sedang bicarakan adalah agama damai.", tanyaku sedikit memancing.
    "Ji, umat adalah frontier terdepan bagi sebuah ajaran damai. Apa yang dipahami oleh umat, sedikit banyak menggambarkan ajarannya. Begini, kalau jumlah orang yang memiliki paham kebencian ini hanya satu atau dua orang, umat itu memang perlu dipertanyakan. Namun, jika jumlah umat yang memiliki paham kebencian ini mencapai jutaan, kita harus mempertanyakan ajarannya.", jawabnya dengan sedikit erengah-engah.
    "OK, jika definisinya demikian, adakah agama damai di dunia ini?", tanyaku.
    Ia terdiam sejenak, dan menjawab dengan yakin, "Ji, yang kutahu adalah, saat ini aku merasa sangat bahagia, karena apa yang kuyakini adalah ajaran mulia yang menjunjung nilai-nilai luhur, yang memberiku rasa damai hingga ke tulang sum sum."
    Ia melenggang pergi, dengan kepala tegak.