Cintanya pada perempuan itu tak bertepi. Dikayuhnya pedal becak berwarna merah tua yang telah tak memiliki lampu itu dengan terawang mata yang tajam. Hari telah sangat tua. Berpeluh, di dahi yang menghitam kaya pengalaman hidup itu. Tangannya kencang menggenggam stang. Sekali-sekali ia menengok ke belakang, mengukur jalan. Sibuknya di hari itu tak mengusik lamunannya akan perempuan yang dicintainya, yang ia tahu sedang menunggunya di rumah sederhana yang ia anggap rumah terindah di dunia. Sesekali bibirnya tersenyum, ketika hatinya yang sibuk menghitung pernghasilannya hari itu, sampai pada angka dua puluh empat ribu lima ratus rupiah. Dirasakannya uangnya mendesak padat di kantong belakang celananya. Ia akan gunakan sepuluh ribu rupiah untuk membeli dua bungkus nasi rames lengkap dengan ikan tongkol yang disukai perempuan yang dicintainya itu. Ia menganggap, sekali-sekali ia dan perempuan itu berhak untuk makan dengan menu mewah, tokh hari ini genap sudah tiga dasa warsa ia menikahi perempuan itu. Empat belas ribu lima ratus rupiah sisanya, akan dibelikannya dua buah es krim coklat yang pernah mereka cicipi tujuh tahun yang lalu, ketika satu-satunya anak perempuannya yang sudah menikah itu datang menengok bersama suaminya dari pulau seberang. Masih kental dalam ingatannya yang sederhana, bagaimana es krim itu meleleh lembut dalam mulutnya. Ia dan perempuan yang dicintainya itu tak kuasa untuk tak terbelalak ketika es krim itu mengalir lembut di tenggorokannya. Sensasi itu tak pernah hilang dari ingatannya, karena ia dan perempuan yang dicintainya itu selalu mendiskusikannya pada berbagai kesempatan. Namun ia tak pernah berani membeli es krim yang diimpikannya itu, karena ia tahu beras, garam dan minyak goreng jauh lebih penting.
Saat itu, ia sedikit tak peduli tentang hal itu. Ia sudah bertekad untuk membahagiakan perempuan yang dicintainya dengan sepenuh hati itu, dengan membawa es krim coklat yang dulu pernah meliwati tenggorokan mereka dengan sensasi dahsyat. Sementara pikirannya bekerja, ia mengayuh becaknya melalui jalan yang telah ribuan kali dilaluinya. Senja itu, jalan sepi seperti biasa. Ia melihat pak tua itu berjalan di depannya. Ia memperlambat becaknya, memberi ruang dan waktu yang cukup bagi pak tua untuk menyeberang. Sepeda motor dengan kecepatan sedang tiba-tiba muncul, dan terjadilah. Pak tua terkapar tak berdaya. Sepeda motor menghilang, kabur. Tak percaya dengan apa yang terjadi, ia menghampiri pak tua, dan ia lega ketika tahu pak tua hanya terluka memar berdarah, namun tak parah.
Ia sampai di rumah, dan melihat perempuan yang dicintainya itu sedang berdiri di ambang pintu, tengah menantikannya. Ia menggenggam tangan perempuan itu, dan meminta maaf karena seluruh uang yang diperolehnya hari itu telah ia gunakan untuk membayar jasa dokter dan membeli obat bagi pak tua malang yang tertabrak sepeda motor. Perempuan itu hanya tersenyum. Ia sangat mengenal laki-laki yang sangat dicintainya dan dihormatinya itu. Melalui tatapan mata yang beradu, mereka telah bertukar sejuta kata dan cinta. Ketika perempuan itu mengeluarkan ubi rebus yang telah disiapkannya, laki-laki itu merasa bahwa ia sangat kaya raya. Ia bersyukur karenanya.
Tuesday, April 26, 2005
Kaya Raya
Thursday, April 21, 2005
Tongkat Si Buta
Dengan sia-sia, si buta memelas dan mencoba untuk menggerakkan hati orang-orang yang lalu lalang di sana. Namun tampaknya sia-sia. Tidak ada nurani yang cukup responsive untuk menjawab permintaan uluran tangan itu. Tidak ada iba yang tersisa bagi orang-oragn yang sudah cukup sibuk hari itu untuk memikirkan kesusahan orang lain. Tidak ada secercah welas asih yang singgah di lubuk hati individu yang kebetulan liwat di sana. Si buta tetap dengan kebingungannya sendiri, tidak tahu, apa yang diperbuatnya tanpa tongkatnya.
Namun Tuhan tidak membiarkan hal itu terlalu lama terjadi. Keajaiban itupun datang. Seorang bapak sederhana tiba-tiba muncul di sana, entah dari mana. Dengan tidak ragu-ragu, ia turun ke selokan berbau, walaupun dengan begitu ia mengorbankan celananya yang sudah lusuh terkotori oleh lumpur berbau busuk. Tongkat itu diambilnya, dan diserahkan kepada si buta yang sangat memerlukannya.
Tidak beberapa lama kemudian, seseorang mendekati bapak penolong yang tampak sangat sederhana itu. Ia bertanya kepada pak penolong,
”Mengapa Bapak menolongnya?”.
”Karena saya ingin menolong.”, jawabnya. Jawabnya sangat sederhana, dan dalam kesederhanaan itu ia memberikan sentuhan penuh warna kepada masyarakat luas yang saat itu tengah menonton tayangan televisi di rumah masing-masing. Memang, adegan di atas adalah cuplikan dari reality show ”Tooolloooong!” yang ditayangkan oleh salah satu TV swasta ibu kota.
Segera aku teringat kepada pertanyaan seorang instruktur dalam sebuah kursus motivasi, ”Di dunia ini, lebih banyak orang jahat atau orang baik?”
”Orang baik!”, jawabku saat itu. Sekarang, sambil menerawang, aku kembali teringat pertanyaan itu, dan menimbang-nimbang, perlukah aku menjustifikasi jawabanku itu? Seperti si buta, aku benar-benar memerlukan "tongkat" untuk melihat, seperti apa duniaku ini.
Mengaudit Penyuap
Disalin dari Majalah Trust:
Rudy M. Harahap
Ketua Bidang Standar Profesi
Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII)
Saya cukup surprise ketika mendengar berita penangkapan Mulyana W. Kusumah, anggota KPU yang juga mantan aktivitis YLBHI itu. Untuk menjawab keterkejutan itu, saya mencoba mengontak beberapa teman pada Sabtu (9/4). Sayangnya, pada hari itu, tidak seorang pun yang mengaktifkan handphone-nya. Syukurnya, pada hari Minggu ada juga yang menelepon-balik saya.
“Apa iya Mulyana bisa sampai begitu?”, tanya saya. Apa mungkin Mulyana sampai begitu berubah karena dipicu oleh faktor pribadi? Sebab, banyak yang mengetahui bahwa ada sebuah faktor pribadi yang dimiliki Mulyana yang bisa menjadi pemicu ia berkorupsi. Siapapun bisa tergelincir jika menghadapi hal ini.
Tapi, teman saya yang juga jurnalis itu tidak setuju dengan dugaan saya.
“Mulyana sudah lama punya … (maaf, off the record),” kata teman saya.
“Saya yakin, tidak semudah itu Mulyana berubah,” tegas teman saya.
Tambah penasaran, keesokan harinya, saya mencoba mengikuti pemberitaan di media massa. Sayangnya, tidak satu pun media yang memuat statement dari Mulyana. Kalaupun ada, paling-paling hanya pernyataan dari orang lain yang mengutip pernyataan dari Mulyana. Karena itu, untuk memuaskan rasa penasaran, saya mengontak seorang teman yang juga aktivitis kondang pemberantasan korupsi di tanah air. Setahu saya, dia cukup dekat dengan Mulyana.
“Yach, begitulah ceritanya,” kata teman saya itu. “Dan KPK memang
punya kewenangan itu,” tambahnya, seakan pasrah.
Kemudian, saya membaca berita di media massa, nama pegawai BPK yang terlibat “penjebakan” Mulyana itu adalah Khairiansyah. Rasanya, saya merasa tidak asing dengan nama tersebut. Saya pernah mengenalnya ketika memberi kuliah martikulasi pada program pasca sarjana sebuah perguruan tinggi swasta. Untuk memastikan hal itu, saya menelepon seorang teman yang bekerja di BPK. Saya ingin mengonfirmasi apakah benar Khairiansyah itu yang dimaksud.
“Benar itu orangnya,” kata teman saya dengan enteng. Wow.
Dan sekarang saya tambah yakin bahwa itu bukan sekedar “jebakan” biasa. Kalau memang Khairiansyah itu orang BPK-nya, tentu tak diragukan lagi integritasnya. Bahkan, dalam sebuah media dia menyatakan, “Ini jihad saya.”
Saya mengenal Khairiansyah selama perkuliahan satu semester. Ia mengikuti kuliah tersebut dengan beasiswa dari BPK. Dengan demikian, tentu tidak diragukan lagi kecerdasannya. Apalagi, menurut suara yang merebak, dia andalan BPK dalam fraud auditing.
Akan Menguak Banyak Hal
Pertanyaan yang mendasar adalah apakah Mulyana begitu bodohnya sehingga bisa terjebak? Rasanya, pertanyaan ini cukup menggelitik. Sebab, Mulyana dikenal sebagai kriminolog yang sudah malang-melintang di mana-mana. Saya menduga ada hal lain di belakang kejadian ini. Bisa jadi, akhir dari cerita ini akan mengejutkan banyak orang. Terutama sekali dengan sudah mulai terkuaknya sumber uang yang diduga untuk penyuapan tersebut.
Dugaan penulis—sengaja atau tidak sengaja—nantinya akan banyak hal terkuak dalam dugaan kasus korupsi KPU. Dari kasus Mulyana ini, kita juga akan semakin paham, bahwa sering sekali definisi korupsi menurut hukum diartikan berbeda oleh para pejabat publik.
Dalam halnya KPU, saya menduga bahwa KPU banyak “menyisihkan” anggaran pengadaannya untuk dana taktis. Dana taktis sering dianggap sebagai sah-sah saja dalam sebuah instansi publik. Dari pengumpulan rente dana taktis ini, yang tadinya remang-remang, semakin jelas dugaan adanya indikasi korupsi di KPU. Hanya saja, korupsi tadi memang tidak untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Hasil korupsi itu dipupuk menjadi dana operasional KPU, yang mungkin sulit untuk dianggarkan secara formal. Ini mirip dengan korupsi di jaman Orde Baru. Hasil-hasil dari rente tidak seluruhnya digunakan untuk pesiar atau semacamnya. Kebanyakan dana taktis justru digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang menurut budget APBN tidak tersedia. Atau, kadang-kadang digunakan untuk hal-hal yang mendesak.
Dapatkah hal itu disebut korupsi? Tentu saja dapat. Hanya saja, pekerjaan KPK akan semakin berat. Karena korupsi dilakukan secara berjamaah, maka banyak pihak di KPU yang harus dituntut oleh KPK. Kalau KPK berhasil melakukannya, maka ini akan menjadi babak baru dalam pemberantasan korupsi.
Penuntutan tindak pidana korupsi secara berjamaah sebenarnya sudah banyak dilakukan di negara lain. Contohnya adalah di Cina. Pada waktu itu, beberapa pejabat secara bersamaan di bawa ke depan pengadilan karena diduga melakukan korupsi.
Tidak Hanya Berhadapan dengan KPU
Hal kedua yang menarik perhatian adalah pernyataan dari Anwar Nasution yang menyatakan bahwa ia tidak mengetahui tindakan pegawai BPK dalam hubungannya dengan “penyuapan” Mulyana. Bahkan, secara tegas, Anwar menyatakan bahwa tindakan pegawainya itu bukanlah tindakan resmi dari institusinya.
Ini menjadi penyataan yang menarik. Sebab, dalam dunia audit publik biasanya pengendalian audit investigatif itu sangat ketat. Namun, ketidaktahuan Anwar dapat juga dimaklumi. Sebab, seperti saya tulis dalam Majalah Trust edisi 4 – 10 April, struktur organisasi BPK sangat panjang. Dengan demikian, rentang kendalinya juga lemah. Seorang auditor seperti Khairiansyah sebenarnya harus melalui paling tidak 4 lapis agar dapat langsung melapor ke Ketua BPK. Dengan demikian, bisa jadi, Khairiansyah sudah melaporkan kepada atasan langsungnya, tetapi tidak pernah sampai kepada Ketua BPK.
Akan tetapi, ada kemungkinan lain, yaitu Khairiansyah “bermain sendiri”. Kerja audit Khairiansyah adalah bagian dari kerja Tim. Akan tetapi, Khairiansyah tidak setuju dengan beberapa “kesepakatan” yang telah dilakukan oleh Tim-nya. Ia melakukan penyimpangan dari “kebiasaan” yang lazim dilakukan selama ini di BPK. Jika dugaan itu benar, maka Khairiansyah sebenarnya tidak saja sedang “berhadap-hadapan” dengan KPU sebagai pihak yang diperiksanya. Dia juga sedang dalam posisi yang sulit di internal BPK. Karena itulah, wajar jika ia sampai mengeluarkan pernyataan “Ini jihad saya”. Ini menunjukkan bahwa yang dilakukannya sudah tidak main-main. Ia sudah jenuh dengan berbagai prilaku yang selama ini ditemuinya.
Paradigma Audit ke Depan
Saya juga mendapat pertanyaan yang cukup menarik dari seorang teman. Dia mempertanyakan apakah tindakan yang dilakukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia memang harus demikian? Apakah memang begitu cara kita melakukan audit? Apakah tidak ada lagi cara lain yang lebih elegant dalam memberantas korupsi?
Menurut saya, itu semua merupakan sebuah proses belajar. Adalah wajar jika dalam proses tersebut, masing-masing pihak mencari pola. Yang pasti, tindakan KPK yang mengobrak-abrik ruang kerja KPU telah memberikan rasa was-was para koruptor atau kandidatnya. Apa yang dilakukan oleh KPK itu sebenarnya sudah lazim dilakukan oleh Badan Anti Korupsi di negara lain. Misalnya saja Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong. Karena pada awalnya korupsi yang terbesar di sana adalah pada kegiatan kepolisian, Badan Anti Korupsi Hongkong dilatih untuk melakukan penggerebekan lokasi perjudian dan prostitusi yang dilindungi oleh aparat kepolisian. Dengan demikian, saling-tembak dalam setiap operasinya, itu adalah hal yang biasa.
Untuk Indonesia, menurut berbagai studi, korupsi terbesar terjadi dalam kegiatan keuangan. Tentunya, cukup aneh jika pemberantasan korupsi di Indonesia mengkopi habis pola Badan Anti Korupsi Hongkong. Itulah sebabnya, banyak warga masyarakat yang bingung melihat tindakan KPK yang menggerebek Mulyana. Begitu juga dalam halnya dengan kegiatan audit BPK. Baru kali inilah dalam pekerjaan auditnya BPK menjebak “klien-nya”. Kejadian ini akan membuat ngeri banyak auditee BPK. Di kemudian hari, mereka tentu akan lebih berhati-hati dalam “bekerja-sama” dengan pegawai BPK.
Bisa jadi, kejadian ini tidak direstui oleh pihak-pihak yang selama ini “menikmati” hubungan baik dengan auditee BPK. Mereka tentu sangat terancam dengan tindakan Khairiansyah ini. Ini bisa menjawab kenapa Ketua BPK menyatakan bahwa tindakan pegawainya bukan tindakan resmi dari BPK.***
Tuesday, April 19, 2005
Belajar Berterimakasih
Scott Bennet gugur karena helikopter mereka jatuh saat melakukan misi kemanusiaan di Pulau Nias yang tengah dilanda kerusakan akibat gempa yang terjadi pada Senin (28/3) lalu. Helikopter jatuh Sabtu pukul 16.30 saat akan mendarat di desa Aman Draya di Pulau Nias ketika melakukan tugas kemanusiaan di sekitar daerah kecamatan Teluk Dalam.
Hingga pemakamannya, Jumat (8/4) ini, kita bisa melihat semangat terimakasih yang disampaikan orang-orang yang merasa pernah "disentuh" olehnya. Ketika peti jenazah Paus Yohanes Paulus II atau Karol Wojtyla perlahan masuk basilika Santo Petrus menuju peristirahatannya yang terakhir, ribuan orang mengiringinya dengan standing-ovation.
Tjahjo Sasongko
ManUSiA: Kebenaran
Dengan senang hati, aku mengutip sebuah tulisan yang membahas tentang kebenaran sejati:
Kebenaran hanya muncul dariNya, tanpa preservasi. Monopoli atas kebenaran hanya akan mengerdilkan arti kebenaran itu sendiri. Salut.ManUSiA: Kebenaran: "Banyak sekali nama yang diberikan bagi Sang Pencipta; Yehova, Gusti, Deo, Allah, Alloh, Hyang Widhi, God. Namun Tuhan yang dimaksud di sini adalah Tuhan yang universal, bukan Tuhan yang terikat pada suatu nama atau bangsa tertentu, melainkan Tuhan Sang Penguasa Alam semesta yang menembus ruang dan waktu dan yang bertahta di Kolbu Mukmin Baitullah, hati yang suci menjadi takhta Tuhan."
Menerima Stroke
- memuaskan diri kita pada dahaga akan stroke.
- belajar dan belajar lagi tentang pentingnya keahlian dalam mengadministrasi stroke.
- membuang stroke beracun, dan menukarnya dengan hal-hal yang menyehatkan, intimate dan spontan.
- meningkatkan rasa percaya diri, menurunkan tendensi negatif dalam masyarakat sosial di sekeliling kita.
Percaya atau tidak, percayalah.
Sunday, April 17, 2005
Terkadang
Terkadang aku hanya bisa melihat, dan mendengar saja.
Sesuatu menahanku untuk bersuara, dan meneriakkan sesuatu.
Terjerembab dalam batas-batas tak terlihat, mampus.
Dan aku kalah.
Ingin, aku tidak seperti itu.
Energi Maha Tinggi
Hendaknya engkau mengetahui bahwa apa yang ada dalam seluruh badan tidak dapat dimusnahkan. Tidak seorangpun dapat membinasakan energi maha tinggi yang tidak dapat dibinasakan itu. (BG 2.17).
Energi maha tinggi yang tidak dapat dimusnahkan atau diukur dan bersifat kekal, memiliki badan jasmani yang pasti akan berakhir. Karena itu, bertempurlah dan bekerjalah, wahai manusia. (BG 2.18).
Tidak ada kelahiran maupun kematian bagi energi maha tinggi pada saat kapanpun. Dia tidak diciptakan pada masa lampau, pada masa sekarang, pada masa yang akan datang. Dia tidak dilahirkan, berada untuk selamanya dan bersifat abadi. Dia tidak terbunuh apabila badan dibunuh. (BG 2.20).
Temanku bertanya, itu hukum kekekalan energi yang dipostulasikan oleh siapa? Aku hanya bilang, hukum ini telah berumur.... sepanjang massa!
Friday, April 15, 2005
Kebajikan
"Kebajikan bukanlah jubah yang engkau kenakan, atau gelar-gelar mulia yang engkau berikan kepada dirimu untuk dipamerkan kepada umum!". Sebuah kontemplasi yang sangat aku sukai.
:: arief-web.blogspot.com ::: Pelacur Dan Pertapa
Thursday, April 14, 2005
Menolong Relawan
Bencana alam maha dahsyat, gempa dan tsunami, pada pergantian tahun 2004 dan 2005-pun datang. Sebagai orang yang memiliki perhatian besar pada masalah-masalah sosial, pasangan suami istri inipun berniat menjadi relawan pergi ke Aceh untuk memberikan bantuan yang bisa dilakukannya bagi sesama umat manusia. Mereka bukan berasal dari organisasi atau LSM tertentu, sehingga seluruh biaya perjalanannya ke Aceh keluar dari kantong pribadinya. Berbekal idealisme yang tinggi dan semangat untuk saling menolong sesama umat manusia, berangkatlah mereka pada awal bulan Februari 2005 ke Aceh.
Mereka membayangkan bahwa perjalanan ke Aceh tidak akan mudah. Mereka tahu, berbagai rintangan menunggu di depan. Namun dengan meneguhkan hati, mereka berangkat ke Serambi Mekah yang sedang berdarah melalui Medan.
Bercerita Carlos dan Carmen kepadaku, dengan mata menerawang jauh. Betapa perjalanan itu tidak mudah. Betapa perih hati mereka melihat Banda Aceh yang luluh lantak tak berbekas. Betapa kecilnya dan tak berartinya ciptaan manusia di hadapan Tuhan. Betapa menderitanya manusia Aceh setelah dihantam jutaan gallon air bencana yang meluluh lantakkan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh. Telah kering air mata, telah hilang ratapan yang habis dimangsa penderitaan yang luar biasa. Aku hanya bisa membayangkan bagaimana semua itu tergambar di dalam imajinasiku. Mereka bercerita, bahwa mereka dengan serta merta bergabung dengan masyarakat Internasional menolong dan menyumbangkan tenaga sebisanya. Sekecil apapun pertolongan itu diberikan, sudah sangat berarti. Luar biasa!
Namun ada beberapa hal tak sedap lantas muncul ke permukaan. Hanya karena aku adalah teman baiknyalah, cerita ini kemudian dipercayakannya kepadaku.
Ketika mereka tiba di Medan, sepasang orang asing ini serta merta dikerubuti oleh para pahlawan lokal yang berebut ingin membantu. “Need help, Sir? Madame?” Oh, kasihan Carlos. Ia sangat terharu dan hampir meneteskan air mata ketika mendengar banyak sekali uluran tangan yang ingin membantunya. Seorang berpakaian perlente mendekati mereka, dan bertanya dalam bahasa Inggris.
“Anda dari mana? Apakah anda seorang relawan yang ingin ke Aceh? Jika ya, mari ikuti saya, saya akan membantu dan menyiapkan seluruh keperluan anda. Silahkan ikuti saya.”
Wow, mereka serta merta percaya pada Bapak berpakaian perlente ini, dan mengikutinya. Mereka dibawa ke sebuah kantor sebuah maskapai penerbangan yang akan membawa mereka ke Aceh.
“Mari silahkan duduk. Ini tiket penerbangan anda ke Aceh. Semuanya sudah kami persiapkan untuk anda. Anda dari mana?”
Carlos serta merta mengeluarkan dompetnya, sambil berkata, “Oh, terima kasih atas bantuannya. Sangat kami hargai. Berapa harga tiket yang harus kami bayar?”
“Tidak usah khawatir, seluruh tiket untuk anda berdua sebagai relawan, dari Medan ke Aceh pulang pergi, ditanggung oleh kami. Anda tidak usah membayar sepeserpun! Oh ya, anda dari mana?”, jawab si Bapak perlente sambil kembali bertanya.
“Wow, saya sangat berterima kasih atas bantuannya. Kami sangat terkejut atas servis yang diberikan.” Carlos dan Carmen tentu sangat senang dan merasa terkejut pada pelayanan luar biasa ini. Carlos bahkan menambahkan, “Selama kami hidup di Bandung, belum ada orang Indonesia yang membantu kami seperti ini. Kami sangat terharu. Sekali lagi terima kasih.”
“Lho, anda berdua menetap di Bandung? Anda bukan orang dari LSM yang membawa bantuan uang ke Aceh?”, tanya si Bapak perlente itu.
“Ya, kami menetap di Bandung. Kami bukan anggota LSM manapun. Kami datang ke Aceh sebagai relawan yang ingin membantu masyarakat Aceh. Kami datang ke Aceh atas kehendak pribadi. Ya, kami tidak membawa uang bantuan, hanya tenaga dan seluruh kemampuan yang kami miliki yang siap kami sumbangkan.”, jawab Carlos sambil terheran-heran mendengar pertanyaan si Bapak perlente.
“Oh, kalau begitu, ini kuitansi tiket Medan-Aceh pulang pergi yang harus anda bayar.”, jawab si Bapak perlente sambil bersungut-sungut.
Duh, merah telingaku. Merah mukaku.
Wednesday, April 13, 2005
Begitulah, Begitu Itu
Masalah ini diselesaikan oleh polisi dengan sangat cepat, tanpa bertele-tele. Pak Kim dinyatakan bersalah. Alasannya sederhana. Mobil pak Kim lebih besar dari sepeda motor, dan pak Kim orang asing.
Duh! Begitukah? Begitu itu begitu, memang!
Kecerdasan Emosi
Pada bulan Februari 2005, seluruh fasilitas itu siap untuk digunakan. Aku sangat ingin tahu, bagaimana sambutan masyarakat ITB tentang fasilitas yang hanya bisa ditemukan di dunia barat itu. Menakjubkan, setelah peresmian penggunaan stasiun air minum ini, tidak ada sama sekali komentar-komentar tentang hal ini. Wah, ternyata masyarakat ITB dengan sangat elegant berhasil beradaptasi dengan cepat terhadap fasilitas mewah ini. Sepi, dan tampak tenang-tenang saja.
Kemarin aku mendengar dari seorang kolega, kritik-kritik mulai bermunculan berkenaan dengan fasilitas baru nan mewah ini, stasiun air minum yang memiliki jejaring di seluruh pelosok ITB. Suara-suara sumbang dari mahasiswa ITB terdengar lapat-lapat di ujung sana, “…siapa sih yang merancang stasiun air minum ini? Sekarang daerah di sekitar stasiun selalu basah kuyup. Mbok ya, kalau mau memberi sesuatu, sekalian yang berkualitas dan rancangannya sudah mempertimbangkan aspek-aspek seperti itu.”
Dari perasaan bangga dan syukur yang memenuhi dadaku ketika melihat instalasi air minum yang disumbangkan oleh para alumni ITB, marah besar dan kecewa tiba-tiba memenuhi seluruh perasaanku. Marah dan kecewa pada komentar-komentar tidak adil yang dilontarkan oleh para mahasiswa ITB. Marah dan kecewaku terutama muncul akibat tiba-tiba aku merasakan bahwa “rendah hati” sama sekali hilang dari kamus pergaulan masyarakat intelektual kita. Aku masih beranggapan bahwa mahasiswa ITB adalah bagian integral dari masyarakat intelektual Indonesia. Ucapan terima kasih dan rasa syukur telah punah dan tidak dikenal lagi.
Tiba-tiba aku ingat, pada saat yang sama, alumni ITB angkatan 1970 juga menyelenggarakan kursus kecerdasan emosi untuk seluruh civitas akademika yang berminat. Tampaknya kursus-kursus seperti ini harus diselenggarakan lebih intensif, karena terbukti bahwa kecerdasan emosi sebagian civitas akademika ITB masih sangat rendah.
Saturday, April 09, 2005
Bangsa Kepiting
Renovasi sebuah bangunan bersejarah di kota Medan ditenderkan oleh pemerintah daerah. Proyek ini sebenarnya bukanlah sebuah proyek bernilai besar, namun banyak menyedot perhatian masyarakat setempat, bukan saja karena nilai sejarah dari bangunan itu, tetapi juga karena salah satu dari peserta tender adalah anak seorang pejabat tinggi dari Jakarta. Alhasil, sebuah perusahaan lokal memberikan penawaran terendah. Tentu si anak pejabat tinggi (dan si pejabat tinggi) kecewa berat. Sempat terjadi polemik tentang kualitas yang ditawarkan oleh pemenang tender, dan beberapa protes dari pihak-pihak yang kalah terhadap fairness proses tender, namun semua itu bisa diatasi oleh panitia tender. Namun tiba-tiba ceritanya menjadi sangat lain, ketika bangunan bersejarah tersebut luluh lantak dimakan api pada tengah malam buta. Proyek dibatalkan. Tak seorangpun memenangkan proyek.
Sebuah proyek penelitian diumumkan. Tiga kelompok peneliti terkemuka dari tiga instansi papan atas di tanah air menyampaikan proposal. Tahap penilaianpun dimulai. Cirruculum vitae dari masing-masing kelompok dinilai dengan cermat. Kapabilitas dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing kelompok direview dengan seksama. Akhirnya, salah satu dari kelompok peneliti ini dipilih sebagai pemenang. Namun hingga saat ini, kontrak penelitian yang ditawarkan tidak pernah ditanda-tangani. Terdengar rumor bahwa salah satu kelompok peneliti yang kalah menyampaikan informasi kepada pemberi proyek bahwa kapabilitas pemenang proyek sebenarnya tidak pas untuk melaksanakan penelitian ini.
Dr. Ir. Tatang Hernas Soerawidjaja dari Departemen Teknik Kimia ITB mengatakan jika sekelompok kepiting ditaruh dalam sebuah ember, tak seekorpun yang mampu untuk keluar dari ember. Mengapa? Jika seekor kepiting berusaha untuk keluar dari ember, maka kawanan kepiting lainnya akan bergelantungan pada kepiting yang berusaha keluar itu, dan menariknya jatuh kembali ke dalam ember. Tak seekor kepitingpun yang bisa keluar dari ember. Tiga contoh di atas adalah prototipe dari bagaimana kelakuan sekelompok kepiting yang tidak rela melihat salah satu dari kelompok berhasil melakukan sesuatu. Percayalah, tiga contoh di atas adalah sebagian kecil dari sebuah teater besar yang saat ini sedang berlangsung di negeri ini. Sebuah introspeksi diri singkat sebenarnya sudah cukup untuk menjawab apakah kita akan selalu menjadi bangsa kepiting yang susah melihat orang lain senang, senang melihat orang lain susah.
Hijau Biru Permasalahan
Sejak seminggu yang lalu, pemilik tanah menimbun tanahnya dengan tanah yang didatangkan dari suatu tempat yang diangkut dengan truk-truk besar. Sampai di situ sih masih OK. Masalahnya adalah, truk-truk besar tersebut datang pada malam hari. Kegiatan itu dilaksanakan hingga larut malam. Tidak tanggung-tanggung, kegiatan angkut-mengangkut tanah ini berlangsung hingga jam 02:00 pagi! Jadwal tidurku serta merta terganggu. Padahal jam 6 pagi keesokan harinya aku harus sudah berangkat ke kantor jika tidak ingin terperangkap macet.
Tadi malam, ketika kegiatan angkut mengangkut tanah dimulai lagi, aku dekati si pemilik tanah, dan bertanya kepadanya, mengapa kegiatan ini tidak dilakukan pada siang hari saja sehingga tidak mengganggu warga di sekitarnya. Jawabannya mengejutkanku.
“Nah, Bapak sekarang terganggu kan? Saya ini adalah pribumi di sini, Pak. Dulu saya sangat terganggu ketika perumahan yang Bapak tinggali ini didirikan. Nah, sekarang Bapak merasakan sendiri bagaimana jika terganggu oleh pekerjaan seperti ini.”, katanya dengan berapi-api.
Terus terang, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Percuma rasanya jika aku menanggapi alasan yang tidak masuk akal ini. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul di kepalaku. Justifikasi nyeleneh yang hanya mencari pembenaran seperti ini tampaknya bukan menjadi monopoli si pemilik tanah di dekat rumahku saja. Hanya sampai di sinikah aras tenggang rasa masyarakat kita saat ini? Menyedihkan.
Seketika aku teringat sebuah kiat diskusi yang manusiawi, berusahalah menaruh dirimu pada pihak lawan bicaramu. Ketika aku berkontemplasi, aku tidak terkejut ketika aku melihat hijau dan birunya masalah sederhana ini. Sederhana? Ya, jika kita mau berusaha untuk tidak membuatnya ruwet.
Tuesday, April 05, 2005
Wawancara 100 Kali
Monday, April 04, 2005
Informasi = Komunikasi?
Aku pernah protes di sebuah pusat perbelanjaan di Bandung, karena orang-orang tidak segan-segan merokok di dalam ruangan walaupun di tempat itu jelas-jelas tertulis "Dilarang Merokok". Pihak pusat perbelanjaan berkilah, "Lho kan kami sudah menulis 'Dilarang Merokok' di ruang ini, Pak", kata mereka. Jadi kalau sudah diinformasikan, tetapi informasi itu tidak disertai dengan tindakan nyata untuk menegur tetap saja larangan itu tidak efektif. Masyarakat Indonesia sudah terlanjur dididik dalam kondisi represif, sehingga mereka telah biasa untuk dipaksa agar mau mengerti dan mengimplementasikan sebuah peraturan. Bahkan Dada Rosada, Wali Kota Bandung pernah mengatakan bahwa untuk mengimplementasikan PEraturan Daerah tentang K3, masyarakat memang harus dipaksa dan harus dibatasi oleh kerangka represif untuk mau mengikuti peraturan dan hukum. Kesadaran untuk patuh pada hukum memang memerlukan waktu untuk ditumbuhkan dalam masyarakat Indonesia.
Sebuah peraturan seyogyanyalah tidak sekedar diinformasikan, tetapi juga harus dikomunikasikan. Informasi yang banyak tidak selalu baik. Informasi yang dikomunikasi dengan baik jauh lebih efektif. Dalam banyak buku tentang komunikasi, komunikasi didefinisikan sebagai tindakan dasar untuk menginformasikan sesuatu. Jika seseorang mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada orang yang mendengarkan, apakah hal itu bisa disebut sebuah komunikasi?
Peraturan Komunikasi Interpersonal
- Setiap individu yang terlibat dalam komunikasi, seyogyanya menghormati privasi oragn lain.
- Setiap individu yang terlibat dalam komunikasi, seyogyanya tidak menyebarkan rahasia dan keburukan orang lain.
- Bahasa tubuh adalah bahasa yang esensial dalam berkomunikasi, sehingga setiap orang yangberkomunikasi seyogyanya menggunakannya dengan bijaksana.
- Setiap individu seyogyanya tidak mengkritisi orang lain di depan publik.
Walaupun banyak sekali modifikasi-modifikasi peraturan umum yang komunikasi interpersonal yang ada, namun seluruh peraturan tersebut tidak akan lepas dari 4 peraturan dasar di atas. Setiap individu akan selalu belajar menggunakan peraturan ini melalui pengalaman-pengalaman yang dilaluinya. Semakin banyak pengalaman seseorang, semakin mahirlah ia dalam mengimplementasikan peraturan-peraturan dasar komunikasi interpersonal ini.
Menurut Steven A. Beebe dalam bukunya "Interpersonal Communication", kecerdasan emosional seseorang ditunjukkan dalam kemahirannya dalam komunikasi interpersonal. Jika ada seseorang yang berteriak lantang, "Manggaku lebih ranum dan manis dari mangga orang lain. Manggaku adalah mangga yang sebenarnya! Mangga orang lain adalah mangga palsu!", kecerdasan emosional orang itu perlu dipertanyakan.
Sunday, April 03, 2005
Menemukan Kembali Santun yang Hilang
Ironis sekali ketika aku melihat wakil rakyat beradu-mulut dengan sangat vulgar hingga berkelahi tanpa etika hanya karena berbeda pendapat di layar televisi yang sangat kontradiksi dengan predikat yang disandangnya sebagai anggota dewan yang terhormat. Sungguh runyam rakyat negeri ini, ketika mereka membutuhkan teladan, “orang-orang bijaksana” yang seharusnya memberi contoh baik, malah berlomba-lomba membuka topeng memperlihatkan keburukan wajahnya masing-masing. Tidak heran jika saat ini kemudian anak bangsa akan merasa “biasa-biasa” saja ketika mengetahui ada oknum anggota polisi dan TNI yang terlibat illegal logging. Seorang satpan rumah makan terkenal di Bandung yang memukul pengendara mobil hanya karena pengendara mobil tersebut terlambat mengantisipasi kemacetan yang terjadi menjadi sangat “biasa” di mata kita. Atau seorang anak kecil acuh tak acuh dan menganggap hal itu biasa saja ketika melihat ibunya meludahi pengendara sepeda berpakaian lusuh bersahaya yang kebetulan menghalangi jalannya, dan sang ibu tidak pernah bermimpi bahwa si pengendara sepeda adalah seorang Profesor di Institut Teknologi Bandung.
Di salah satu pusat perbelanjaan di Bandung, aku pernah bertaruh dengan temanku.Kadang-kadang, ternyata keadaan itu tidaklah segelap yang kubayangkan. Ketika bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan di sana, mendadak seluruh komponen bangsa terketuk hatinya, saling berpegang tangan membantu dengan segala kemampuannya. Ternyata, di sana masih ada hati nurani yang tersisa. Hatiku lantas berbunga-bunga ketika membaca Pikiran rakyat, harian terkemuka di Bandung, bahwa sejumlah anggota Kelompok Penyanyi Jalanan Sektor Katapang mengamen di kios-kios Pasar Caringin Bandung dalam rangka mengumpulkan dana bagi saudara-saudaranya yang tertimpa musibah gempa bumi di Nias beberapa waktu yang lalu.
“Mas, kalau aku butuh bantuan di sini, ada atau enggak ya orang yang akan menolongku?” tanyanya kepadaku waktu itu.
“Tentu!”, kataku yakin.
“Aku enggak seyakin kamu, lho!”
Dan akhirnya kami bertaruh. Aku masih yakin bahwa akan ada orang yang membantu jika ia membutuhkan bantuan. Dan ia sebaliknya. Kemudian, iapun berpura-pura menjadi orang cacat yang susah berjalan sambil membawa barang-barang belian. Aku mengawasi dari jauh. Tiba-tiba ia pura-pura menjatuhkan barangnya, dan ia tampak kesusahan untuk mengumpulkan kembali barang-barangnya. Ajaib! Tidak ada seorangpun yang datang menolongnya. Orang-orang yang berjalan disekitarnya, sama sekali acuh tak acuh, dan pura-pura tidak melihat. Sore itu aku tidak banyak bicara, ada tempat yang paling dalam dalam hatiku terluka, perih rasanya. Tidak saja karena aku kalah taruhan, tetapi juga karena aku harus mentraktir temanku yang menang taruhan di rumah makan Pelecing Ayam Taliwang di jalan Citarum.
Di awal tulisan ini, aku menyatakan bahwa indoktrinasi bangsa ramah dan santun telah dilakukan secara sistematik. Indoktrinasi? Well, percayalah, kita semua masih memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa hal tersebut tidaklah benar. Bangsa ini bangsa yang besar. Ramah tamah dan sopan santun adalah hal yang besar dan esensial bagi bangsa besar. Bangsa yang besar harus memiliki keyakinan yang besar untuk memperbaiki dan membangun kembali keadaan yang sudah terlanjur runtuh. Sesuatu yang rusak selalu masih bisa diperbaiki.
Saturday, April 02, 2005
Paus Johanes Paulus II
Monumen
Seorang teman di Jakarta berkata kepada saya bahwa Indonesia membangun banyak sekali monumen peraturan. Lho apa itu?, tanyaku ketika itu. Dia menjelaskan bahwa banyak sekali peraturan yang dibuat di Indonesia, tetapi ketika kita sampai pada tahap implementasi, semua peraturan itu rontok, tidak berguna, namun secara formal masih tetap ada. Itu seperti monumen, kan?
Aku setuju dan aku mulai melihat banyak contoh yang sudah ada, dan aku sadar bahwa bangsa Indonesia memang ahli dalam hal membuat monumen. Sebuah contoh yang paling realistis adalah aturan tentang kewajiban bagi setiap pengendara mobil untuk menggunakan sabuk pengaman. Jujur saja, aku sempat sangat gembira ketika pemerintah daerah mengeluarkan peraturan yang sangat progresif untuk mendenda pengendara mobil sebesar 1 juta rupiah bagi mereka yang tidak menggunakan sabuk pengaman. Sosialisasipun sudah dilakukan dengan gencar. Karena pendekatan yang sangat bagus, setiap mobil yang tidak memiliki sabuk pengaman mendadak memasang sabuk pengaman. Saat ini, aku berani bertaruh bahwa seluruh mobil yang ada di Bandung telah memiliki sabuk pengaman, terlepas dari masalah layak pakai atau tidak.
Namun apa yang terjadi? Setelah satu tahun peraturan itu diberlakukan, aku tidak pernah mendengar jika ada pengendara yang didenda 1 juta. Walaupun aku yakin bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan ini pasti pernah terjadi. Saat ini, aku melihat pak polisi yang berdiri di pinggir jalan acuh tak acuh saja jika di depannya liwat Angkutan Kota yang supirnya tidak menggunakan sabuk pengaman.
Aku beranggapan, peraturan adalah peraturan. Peraturan yang telah diundangkan, harus dilaksanakan. Tetapi mengapa melempemnya pelaksanaan peraturan di lapangan selalu terjadi? Profesor Koentjaraningrat pernah berkata bahwa salah satu sifat manusia Indonesia adalah selalu meng-informalkan sesuatu yang sudah formal. Variabel-variabel sosial yang telah ditetapkan disini seakan-akan sahih dengan selalu berulangnya fenomena ini, setiap saat, setiap waktu.
Nah kelakuan obyektif itu kembali membuat saya pesimis ketika pada tanggal 15 Maret 2005 yang lalu pemerintah daerah mengumumkan peraturan daerah (Perda) tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (K3) yang akan diberlakukan tidak lama lagi. Perda ini mengatur tentang dilarangnya merokok di tempat umum, membuang sampah, melakukan perjudian, dan lain-lain yang berhubungan dengan K3. Denda yang diterapkanpun sangat tinggi terdahap pelanggar Perda ini, berkisar antara Rp 250.000,- hingga Rp 50 juta. Pelanggaran dilarang merokok di tempat umum akan didenda sebesar Rp. 5 juta. Harga yang sama juga akan diterapkan bagi mereka yang kedapatan membuang sampah sembarangan di tempat umum! Bagi mereka yang menyelenggarakan perjudian akan didenda sebesar Rp. 50 juta. Denda sebesar Rp 250.000,- akan dikenakan kepada mereka yang menyebrang jalan di tempat yang tidak semestinya, atau kepada tukang becak yang berkendara di tdaerah terlarang bagi becak. Dan masih banyak lagi.Pertanyaannya sekarang adalah, apakah peraturan ini juga akan menjadi monumen?
Dari penelitian sederhana yang aku lakukan, 12 orang yang aku tanya, seluruhnya yakin bahwa peraturan ini juga akan menjadi monumen. Saat ini, aku berdoa, semoga mereka salah.
Friday, April 01, 2005
Departemen Sosioteknologi ITB
Komitmen dunia pendidikan untuk mengasah kapabilitas akhir calon-calon pemimpin Indonesia juga patut diacungkan jempol walaupun masih harus mangalami justifikasi di sana-sini. Aku sering mendengar bahwa bobroknya kecerdasan emosional bangsa Indonesia karena pendidikan budi pekerti menjadi masalah marginal di setiap aspek pendidikan nasional. Mungkin pendapat itu ada benarnya, namun kita juga tidak boleh menutup diri pada apa yang menjadi mimpi-mimpi para pendidik kita.
Silahkan lihat apa saja yang ditawarkan oleh ITB untuk meningkatkan kemampuan ekstrakurikuler sekaligus meniadakan kecenderungan proses dekadensi komunikasi interpersonal maupun intrapersonal.
Departemen Sosioteknologi ITB
Mawas Diri Manusia Kita
Beberapa hari setelah gempa besar di pantai Barat Sumatra dan Nias, masih saja terdapat kendala-kendala prinsip yang menghalangi mengalirnya bantuan ke daerah bencana. Hal ini sangat mencengangkan, terlebih jika mengingat bahwa Indonesia baru saja dilanda bencana sangat besar di Aceh pada pergantian tahun 2004-2005 ini. Apakah bangsa ini tidak pernah belajar dari pengalaman-pengalaman yang sudah ada? Apakah bangsa ini tidak pernah berbenah? Apakah bangsa ini bangsa yang tidak pernah mau maju, walaupun itu hanya selangkah?
Seribu pertanyaan semacam itu tentu hinggap di segenap insan Indonesia ketika mendengar berita-berita menjengkelkan seperti, tidak ada satupun organisasi Indonesia yang berusaha masuk ke Nias pada hari ketiga setelah bencana. Hal itu sangat kontras ketika aku melihat televisi semalam bahwa ada satu tim dokter dan perawat Australia yang terdiri dari tidak lebih dari 7-8 orang, yang dalam sehari kemarin telah merawat lebih dari 80 orang di Nias. Kemana orang-orang Indonesia yang menyebut dirinya orang yang peduli terhadap orang lain? Kemana rasa persaudaraan orang Indonesia, yang selalu bangga akan azas gotong royongnya?
Mungkin akupun tidak boleh bertanya hal ini, karena hingga kini aku masih berada di Bandung. Mungkin aku tidak boleh bersuara seperti ini, karena hingga kinipun aku belum memiliki tekad untuk berangkat dengan sukarela ke sana. Mungkin akupun harus segera emlakukan introspeksi diri ketika seorang Anwar Nasution mengatakan bahwa kemampuan organisasi Indonesia sangat amburadul dalam menangani bencana seperti ini. SBY-pun berkata, bahwa teladan dari pemimpin bangsa masih belum bsia dibanggakan, karena pada saat bencana banyak pemimpin daerah justru tidak berada di tempat.
Tuhan, aku tahun azab ini Kau berikan untuk memperingati kami semua.