Dekat rumahku terdapat sebuah tanah yang tidak produktif. Pemilik tanah tersebut baru-baru ini memutuskan untuk membangun ruko di atasnya. Oleh sebab itu, ia berusaha untuk menimbun tanahnya yang agak rendah dengan apa saja. Ia bahkan memasang plang besar bertulisan “Terima buangan brangkal”. Itu berarti siapa saja yang ingin membuang sisa-sisa bangunan, di sinilah tempatnya. Gratis lagi.
Sejak seminggu yang lalu, pemilik tanah menimbun tanahnya dengan tanah yang didatangkan dari suatu tempat yang diangkut dengan truk-truk besar. Sampai di situ sih masih OK. Masalahnya adalah, truk-truk besar tersebut datang pada malam hari. Kegiatan itu dilaksanakan hingga larut malam. Tidak tanggung-tanggung, kegiatan angkut-mengangkut tanah ini berlangsung hingga jam 02:00 pagi! Jadwal tidurku serta merta terganggu. Padahal jam 6 pagi keesokan harinya aku harus sudah berangkat ke kantor jika tidak ingin terperangkap macet.
Tadi malam, ketika kegiatan angkut mengangkut tanah dimulai lagi, aku dekati si pemilik tanah, dan bertanya kepadanya, mengapa kegiatan ini tidak dilakukan pada siang hari saja sehingga tidak mengganggu warga di sekitarnya. Jawabannya mengejutkanku.
“Nah, Bapak sekarang terganggu kan? Saya ini adalah pribumi di sini, Pak. Dulu saya sangat terganggu ketika perumahan yang Bapak tinggali ini didirikan. Nah, sekarang Bapak merasakan sendiri bagaimana jika terganggu oleh pekerjaan seperti ini.”, katanya dengan berapi-api.
Terus terang, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Percuma rasanya jika aku menanggapi alasan yang tidak masuk akal ini. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul di kepalaku. Justifikasi nyeleneh yang hanya mencari pembenaran seperti ini tampaknya bukan menjadi monopoli si pemilik tanah di dekat rumahku saja. Hanya sampai di sinikah aras tenggang rasa masyarakat kita saat ini? Menyedihkan.
Seketika aku teringat sebuah kiat diskusi yang manusiawi, berusahalah menaruh dirimu pada pihak lawan bicaramu. Ketika aku berkontemplasi, aku tidak terkejut ketika aku melihat hijau dan birunya masalah sederhana ini. Sederhana? Ya, jika kita mau berusaha untuk tidak membuatnya ruwet.
Sejak seminggu yang lalu, pemilik tanah menimbun tanahnya dengan tanah yang didatangkan dari suatu tempat yang diangkut dengan truk-truk besar. Sampai di situ sih masih OK. Masalahnya adalah, truk-truk besar tersebut datang pada malam hari. Kegiatan itu dilaksanakan hingga larut malam. Tidak tanggung-tanggung, kegiatan angkut-mengangkut tanah ini berlangsung hingga jam 02:00 pagi! Jadwal tidurku serta merta terganggu. Padahal jam 6 pagi keesokan harinya aku harus sudah berangkat ke kantor jika tidak ingin terperangkap macet.
Tadi malam, ketika kegiatan angkut mengangkut tanah dimulai lagi, aku dekati si pemilik tanah, dan bertanya kepadanya, mengapa kegiatan ini tidak dilakukan pada siang hari saja sehingga tidak mengganggu warga di sekitarnya. Jawabannya mengejutkanku.
“Nah, Bapak sekarang terganggu kan? Saya ini adalah pribumi di sini, Pak. Dulu saya sangat terganggu ketika perumahan yang Bapak tinggali ini didirikan. Nah, sekarang Bapak merasakan sendiri bagaimana jika terganggu oleh pekerjaan seperti ini.”, katanya dengan berapi-api.
Terus terang, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Percuma rasanya jika aku menanggapi alasan yang tidak masuk akal ini. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul di kepalaku. Justifikasi nyeleneh yang hanya mencari pembenaran seperti ini tampaknya bukan menjadi monopoli si pemilik tanah di dekat rumahku saja. Hanya sampai di sinikah aras tenggang rasa masyarakat kita saat ini? Menyedihkan.
Seketika aku teringat sebuah kiat diskusi yang manusiawi, berusahalah menaruh dirimu pada pihak lawan bicaramu. Ketika aku berkontemplasi, aku tidak terkejut ketika aku melihat hijau dan birunya masalah sederhana ini. Sederhana? Ya, jika kita mau berusaha untuk tidak membuatnya ruwet.
No comments:
Post a Comment