Disalin dari Majalah Trust:
Rudy M. Harahap
Ketua Bidang Standar Profesi
Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII)
Saya cukup surprise ketika mendengar berita penangkapan Mulyana W. Kusumah, anggota KPU yang juga mantan aktivitis YLBHI itu. Untuk menjawab keterkejutan itu, saya mencoba mengontak beberapa teman pada Sabtu (9/4). Sayangnya, pada hari itu, tidak seorang pun yang mengaktifkan handphone-nya. Syukurnya, pada hari Minggu ada juga yang menelepon-balik saya.
“Apa iya Mulyana bisa sampai begitu?”, tanya saya. Apa mungkin Mulyana sampai begitu berubah karena dipicu oleh faktor pribadi? Sebab, banyak yang mengetahui bahwa ada sebuah faktor pribadi yang dimiliki Mulyana yang bisa menjadi pemicu ia berkorupsi. Siapapun bisa tergelincir jika menghadapi hal ini.
Tapi, teman saya yang juga jurnalis itu tidak setuju dengan dugaan saya.
“Mulyana sudah lama punya … (maaf, off the record),” kata teman saya.
“Saya yakin, tidak semudah itu Mulyana berubah,” tegas teman saya.
Tambah penasaran, keesokan harinya, saya mencoba mengikuti pemberitaan di media massa. Sayangnya, tidak satu pun media yang memuat statement dari Mulyana. Kalaupun ada, paling-paling hanya pernyataan dari orang lain yang mengutip pernyataan dari Mulyana. Karena itu, untuk memuaskan rasa penasaran, saya mengontak seorang teman yang juga aktivitis kondang pemberantasan korupsi di tanah air. Setahu saya, dia cukup dekat dengan Mulyana.
“Yach, begitulah ceritanya,” kata teman saya itu. “Dan KPK memang
punya kewenangan itu,” tambahnya, seakan pasrah.
Kemudian, saya membaca berita di media massa, nama pegawai BPK yang terlibat “penjebakan” Mulyana itu adalah Khairiansyah. Rasanya, saya merasa tidak asing dengan nama tersebut. Saya pernah mengenalnya ketika memberi kuliah martikulasi pada program pasca sarjana sebuah perguruan tinggi swasta. Untuk memastikan hal itu, saya menelepon seorang teman yang bekerja di BPK. Saya ingin mengonfirmasi apakah benar Khairiansyah itu yang dimaksud.
“Benar itu orangnya,” kata teman saya dengan enteng. Wow.
Dan sekarang saya tambah yakin bahwa itu bukan sekedar “jebakan” biasa. Kalau memang Khairiansyah itu orang BPK-nya, tentu tak diragukan lagi integritasnya. Bahkan, dalam sebuah media dia menyatakan, “Ini jihad saya.”
Saya mengenal Khairiansyah selama perkuliahan satu semester. Ia mengikuti kuliah tersebut dengan beasiswa dari BPK. Dengan demikian, tentu tidak diragukan lagi kecerdasannya. Apalagi, menurut suara yang merebak, dia andalan BPK dalam fraud auditing.
Akan Menguak Banyak Hal
Pertanyaan yang mendasar adalah apakah Mulyana begitu bodohnya sehingga bisa terjebak? Rasanya, pertanyaan ini cukup menggelitik. Sebab, Mulyana dikenal sebagai kriminolog yang sudah malang-melintang di mana-mana. Saya menduga ada hal lain di belakang kejadian ini. Bisa jadi, akhir dari cerita ini akan mengejutkan banyak orang. Terutama sekali dengan sudah mulai terkuaknya sumber uang yang diduga untuk penyuapan tersebut.
Dugaan penulis—sengaja atau tidak sengaja—nantinya akan banyak hal terkuak dalam dugaan kasus korupsi KPU. Dari kasus Mulyana ini, kita juga akan semakin paham, bahwa sering sekali definisi korupsi menurut hukum diartikan berbeda oleh para pejabat publik.
Dalam halnya KPU, saya menduga bahwa KPU banyak “menyisihkan” anggaran pengadaannya untuk dana taktis. Dana taktis sering dianggap sebagai sah-sah saja dalam sebuah instansi publik. Dari pengumpulan rente dana taktis ini, yang tadinya remang-remang, semakin jelas dugaan adanya indikasi korupsi di KPU. Hanya saja, korupsi tadi memang tidak untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Hasil korupsi itu dipupuk menjadi dana operasional KPU, yang mungkin sulit untuk dianggarkan secara formal. Ini mirip dengan korupsi di jaman Orde Baru. Hasil-hasil dari rente tidak seluruhnya digunakan untuk pesiar atau semacamnya. Kebanyakan dana taktis justru digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang menurut budget APBN tidak tersedia. Atau, kadang-kadang digunakan untuk hal-hal yang mendesak.
Dapatkah hal itu disebut korupsi? Tentu saja dapat. Hanya saja, pekerjaan KPK akan semakin berat. Karena korupsi dilakukan secara berjamaah, maka banyak pihak di KPU yang harus dituntut oleh KPK. Kalau KPK berhasil melakukannya, maka ini akan menjadi babak baru dalam pemberantasan korupsi.
Penuntutan tindak pidana korupsi secara berjamaah sebenarnya sudah banyak dilakukan di negara lain. Contohnya adalah di Cina. Pada waktu itu, beberapa pejabat secara bersamaan di bawa ke depan pengadilan karena diduga melakukan korupsi.
Tidak Hanya Berhadapan dengan KPU
Hal kedua yang menarik perhatian adalah pernyataan dari Anwar Nasution yang menyatakan bahwa ia tidak mengetahui tindakan pegawai BPK dalam hubungannya dengan “penyuapan” Mulyana. Bahkan, secara tegas, Anwar menyatakan bahwa tindakan pegawainya itu bukanlah tindakan resmi dari institusinya.
Ini menjadi penyataan yang menarik. Sebab, dalam dunia audit publik biasanya pengendalian audit investigatif itu sangat ketat. Namun, ketidaktahuan Anwar dapat juga dimaklumi. Sebab, seperti saya tulis dalam Majalah Trust edisi 4 – 10 April, struktur organisasi BPK sangat panjang. Dengan demikian, rentang kendalinya juga lemah. Seorang auditor seperti Khairiansyah sebenarnya harus melalui paling tidak 4 lapis agar dapat langsung melapor ke Ketua BPK. Dengan demikian, bisa jadi, Khairiansyah sudah melaporkan kepada atasan langsungnya, tetapi tidak pernah sampai kepada Ketua BPK.
Akan tetapi, ada kemungkinan lain, yaitu Khairiansyah “bermain sendiri”. Kerja audit Khairiansyah adalah bagian dari kerja Tim. Akan tetapi, Khairiansyah tidak setuju dengan beberapa “kesepakatan” yang telah dilakukan oleh Tim-nya. Ia melakukan penyimpangan dari “kebiasaan” yang lazim dilakukan selama ini di BPK. Jika dugaan itu benar, maka Khairiansyah sebenarnya tidak saja sedang “berhadap-hadapan” dengan KPU sebagai pihak yang diperiksanya. Dia juga sedang dalam posisi yang sulit di internal BPK. Karena itulah, wajar jika ia sampai mengeluarkan pernyataan “Ini jihad saya”. Ini menunjukkan bahwa yang dilakukannya sudah tidak main-main. Ia sudah jenuh dengan berbagai prilaku yang selama ini ditemuinya.
Paradigma Audit ke Depan
Saya juga mendapat pertanyaan yang cukup menarik dari seorang teman. Dia mempertanyakan apakah tindakan yang dilakukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia memang harus demikian? Apakah memang begitu cara kita melakukan audit? Apakah tidak ada lagi cara lain yang lebih elegant dalam memberantas korupsi?
Menurut saya, itu semua merupakan sebuah proses belajar. Adalah wajar jika dalam proses tersebut, masing-masing pihak mencari pola. Yang pasti, tindakan KPK yang mengobrak-abrik ruang kerja KPU telah memberikan rasa was-was para koruptor atau kandidatnya. Apa yang dilakukan oleh KPK itu sebenarnya sudah lazim dilakukan oleh Badan Anti Korupsi di negara lain. Misalnya saja Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong. Karena pada awalnya korupsi yang terbesar di sana adalah pada kegiatan kepolisian, Badan Anti Korupsi Hongkong dilatih untuk melakukan penggerebekan lokasi perjudian dan prostitusi yang dilindungi oleh aparat kepolisian. Dengan demikian, saling-tembak dalam setiap operasinya, itu adalah hal yang biasa.
Untuk Indonesia, menurut berbagai studi, korupsi terbesar terjadi dalam kegiatan keuangan. Tentunya, cukup aneh jika pemberantasan korupsi di Indonesia mengkopi habis pola Badan Anti Korupsi Hongkong. Itulah sebabnya, banyak warga masyarakat yang bingung melihat tindakan KPK yang menggerebek Mulyana. Begitu juga dalam halnya dengan kegiatan audit BPK. Baru kali inilah dalam pekerjaan auditnya BPK menjebak “klien-nya”. Kejadian ini akan membuat ngeri banyak auditee BPK. Di kemudian hari, mereka tentu akan lebih berhati-hati dalam “bekerja-sama” dengan pegawai BPK.
Bisa jadi, kejadian ini tidak direstui oleh pihak-pihak yang selama ini “menikmati” hubungan baik dengan auditee BPK. Mereka tentu sangat terancam dengan tindakan Khairiansyah ini. Ini bisa menjawab kenapa Ketua BPK menyatakan bahwa tindakan pegawainya bukan tindakan resmi dari BPK.***
1 comment:
Pusing? Mencet Bola Tangkas di JokerMM aja boss!
Post a Comment