Bangsa yang ramah-tamah, yang selalu mengutamakan sopan santun dalam bersosialisasi sangat lekat dengan bangsa Indonesia. Indoktrinasi yang dilakukan secara sistematik ini telah membuat setiap orang sangat percaya bahwa hal tersebut benar adanya. Pernyataan ini disampaikan secara formal kepada anak didik di seluruh strata pendidikan serta melalui tayangan publik yang menjangkau seluruh tingkat sosial dalam masyarakat. Ampuh? Ya, kalau ditanya, seluruh anak bangsa akan bangga dan manggut-manggut setuju bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan santun. Namun ada seribu satu caontoh yang kemudian mengandaskan kesahihan asumsi yang telah berusaha ditegakkan selama bertahun-tahun itu.
Ironis sekali ketika aku melihat wakil rakyat beradu-mulut dengan sangat vulgar hingga berkelahi tanpa etika hanya karena berbeda pendapat di layar televisi yang sangat kontradiksi dengan predikat yang disandangnya sebagai anggota dewan yang terhormat. Sungguh runyam rakyat negeri ini, ketika mereka membutuhkan teladan, “orang-orang bijaksana” yang seharusnya memberi contoh baik, malah berlomba-lomba membuka topeng memperlihatkan keburukan wajahnya masing-masing. Tidak heran jika saat ini kemudian anak bangsa akan merasa “biasa-biasa” saja ketika mengetahui ada oknum anggota polisi dan TNI yang terlibat illegal logging. Seorang satpan rumah makan terkenal di Bandung yang memukul pengendara mobil hanya karena pengendara mobil tersebut terlambat mengantisipasi kemacetan yang terjadi menjadi sangat “biasa” di mata kita. Atau seorang anak kecil acuh tak acuh dan menganggap hal itu biasa saja ketika melihat ibunya meludahi pengendara sepeda berpakaian lusuh bersahaya yang kebetulan menghalangi jalannya, dan sang ibu tidak pernah bermimpi bahwa si pengendara sepeda adalah seorang Profesor di Institut Teknologi Bandung.
Di awal tulisan ini, aku menyatakan bahwa indoktrinasi bangsa ramah dan santun telah dilakukan secara sistematik. Indoktrinasi? Well, percayalah, kita semua masih memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa hal tersebut tidaklah benar. Bangsa ini bangsa yang besar. Ramah tamah dan sopan santun adalah hal yang besar dan esensial bagi bangsa besar. Bangsa yang besar harus memiliki keyakinan yang besar untuk memperbaiki dan membangun kembali keadaan yang sudah terlanjur runtuh. Sesuatu yang rusak selalu masih bisa diperbaiki.
Ironis sekali ketika aku melihat wakil rakyat beradu-mulut dengan sangat vulgar hingga berkelahi tanpa etika hanya karena berbeda pendapat di layar televisi yang sangat kontradiksi dengan predikat yang disandangnya sebagai anggota dewan yang terhormat. Sungguh runyam rakyat negeri ini, ketika mereka membutuhkan teladan, “orang-orang bijaksana” yang seharusnya memberi contoh baik, malah berlomba-lomba membuka topeng memperlihatkan keburukan wajahnya masing-masing. Tidak heran jika saat ini kemudian anak bangsa akan merasa “biasa-biasa” saja ketika mengetahui ada oknum anggota polisi dan TNI yang terlibat illegal logging. Seorang satpan rumah makan terkenal di Bandung yang memukul pengendara mobil hanya karena pengendara mobil tersebut terlambat mengantisipasi kemacetan yang terjadi menjadi sangat “biasa” di mata kita. Atau seorang anak kecil acuh tak acuh dan menganggap hal itu biasa saja ketika melihat ibunya meludahi pengendara sepeda berpakaian lusuh bersahaya yang kebetulan menghalangi jalannya, dan sang ibu tidak pernah bermimpi bahwa si pengendara sepeda adalah seorang Profesor di Institut Teknologi Bandung.
Di salah satu pusat perbelanjaan di Bandung, aku pernah bertaruh dengan temanku.Kadang-kadang, ternyata keadaan itu tidaklah segelap yang kubayangkan. Ketika bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan di sana, mendadak seluruh komponen bangsa terketuk hatinya, saling berpegang tangan membantu dengan segala kemampuannya. Ternyata, di sana masih ada hati nurani yang tersisa. Hatiku lantas berbunga-bunga ketika membaca Pikiran rakyat, harian terkemuka di Bandung, bahwa sejumlah anggota Kelompok Penyanyi Jalanan Sektor Katapang mengamen di kios-kios Pasar Caringin Bandung dalam rangka mengumpulkan dana bagi saudara-saudaranya yang tertimpa musibah gempa bumi di Nias beberapa waktu yang lalu.
“Mas, kalau aku butuh bantuan di sini, ada atau enggak ya orang yang akan menolongku?” tanyanya kepadaku waktu itu.
“Tentu!”, kataku yakin.
“Aku enggak seyakin kamu, lho!”
Dan akhirnya kami bertaruh. Aku masih yakin bahwa akan ada orang yang membantu jika ia membutuhkan bantuan. Dan ia sebaliknya. Kemudian, iapun berpura-pura menjadi orang cacat yang susah berjalan sambil membawa barang-barang belian. Aku mengawasi dari jauh. Tiba-tiba ia pura-pura menjatuhkan barangnya, dan ia tampak kesusahan untuk mengumpulkan kembali barang-barangnya. Ajaib! Tidak ada seorangpun yang datang menolongnya. Orang-orang yang berjalan disekitarnya, sama sekali acuh tak acuh, dan pura-pura tidak melihat. Sore itu aku tidak banyak bicara, ada tempat yang paling dalam dalam hatiku terluka, perih rasanya. Tidak saja karena aku kalah taruhan, tetapi juga karena aku harus mentraktir temanku yang menang taruhan di rumah makan Pelecing Ayam Taliwang di jalan Citarum.
Di awal tulisan ini, aku menyatakan bahwa indoktrinasi bangsa ramah dan santun telah dilakukan secara sistematik. Indoktrinasi? Well, percayalah, kita semua masih memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa hal tersebut tidaklah benar. Bangsa ini bangsa yang besar. Ramah tamah dan sopan santun adalah hal yang besar dan esensial bagi bangsa besar. Bangsa yang besar harus memiliki keyakinan yang besar untuk memperbaiki dan membangun kembali keadaan yang sudah terlanjur runtuh. Sesuatu yang rusak selalu masih bisa diperbaiki.
No comments:
Post a Comment