Sepasang suami istri dari Venezuela, Carlos dan Carmen, telah lama tinggal di Bandung. Mereka adalah orang-orang yang sangat sederhana, mudah bergaul, suka menolong, dan sangat ramah. Seperti umumnya orang Amerika Latin, mereka adalah orang-orang yang hangat, dan berpandangan sangat luas. Mereka sangat menikmati tinggal di Bandung. Bukan saja karena cuaca yang sangat ramah, tetapi juga karena makanan dan lingkungan yang sangat cocok dengan apa yang mereka miliki di Venezuela sana. Mereka berada di Indonesia untuk menjajaki kemungkinan untuk membuka bisnis barang-barang seni. Mereka berencana untuk mengeksport cendera mata Indonesia ke Venezuela, dan mengimport barang-barang etnik Venezuela ke Indonesia untuk dijual di sini. Menurutnya, prospek bisnis ini sangat menjanjikan.
Bencana alam maha dahsyat, gempa dan tsunami, pada pergantian tahun 2004 dan 2005-pun datang. Sebagai orang yang memiliki perhatian besar pada masalah-masalah sosial, pasangan suami istri inipun berniat menjadi relawan pergi ke Aceh untuk memberikan bantuan yang bisa dilakukannya bagi sesama umat manusia. Mereka bukan berasal dari organisasi atau LSM tertentu, sehingga seluruh biaya perjalanannya ke Aceh keluar dari kantong pribadinya. Berbekal idealisme yang tinggi dan semangat untuk saling menolong sesama umat manusia, berangkatlah mereka pada awal bulan Februari 2005 ke Aceh.
Mereka membayangkan bahwa perjalanan ke Aceh tidak akan mudah. Mereka tahu, berbagai rintangan menunggu di depan. Namun dengan meneguhkan hati, mereka berangkat ke Serambi Mekah yang sedang berdarah melalui Medan.
Bercerita Carlos dan Carmen kepadaku, dengan mata menerawang jauh. Betapa perjalanan itu tidak mudah. Betapa perih hati mereka melihat Banda Aceh yang luluh lantak tak berbekas. Betapa kecilnya dan tak berartinya ciptaan manusia di hadapan Tuhan. Betapa menderitanya manusia Aceh setelah dihantam jutaan gallon air bencana yang meluluh lantakkan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh. Telah kering air mata, telah hilang ratapan yang habis dimangsa penderitaan yang luar biasa. Aku hanya bisa membayangkan bagaimana semua itu tergambar di dalam imajinasiku. Mereka bercerita, bahwa mereka dengan serta merta bergabung dengan masyarakat Internasional menolong dan menyumbangkan tenaga sebisanya. Sekecil apapun pertolongan itu diberikan, sudah sangat berarti. Luar biasa!
Namun ada beberapa hal tak sedap lantas muncul ke permukaan. Hanya karena aku adalah teman baiknyalah, cerita ini kemudian dipercayakannya kepadaku.
Duh, merah telingaku. Merah mukaku.
Bencana alam maha dahsyat, gempa dan tsunami, pada pergantian tahun 2004 dan 2005-pun datang. Sebagai orang yang memiliki perhatian besar pada masalah-masalah sosial, pasangan suami istri inipun berniat menjadi relawan pergi ke Aceh untuk memberikan bantuan yang bisa dilakukannya bagi sesama umat manusia. Mereka bukan berasal dari organisasi atau LSM tertentu, sehingga seluruh biaya perjalanannya ke Aceh keluar dari kantong pribadinya. Berbekal idealisme yang tinggi dan semangat untuk saling menolong sesama umat manusia, berangkatlah mereka pada awal bulan Februari 2005 ke Aceh.
Mereka membayangkan bahwa perjalanan ke Aceh tidak akan mudah. Mereka tahu, berbagai rintangan menunggu di depan. Namun dengan meneguhkan hati, mereka berangkat ke Serambi Mekah yang sedang berdarah melalui Medan.
Bercerita Carlos dan Carmen kepadaku, dengan mata menerawang jauh. Betapa perjalanan itu tidak mudah. Betapa perih hati mereka melihat Banda Aceh yang luluh lantak tak berbekas. Betapa kecilnya dan tak berartinya ciptaan manusia di hadapan Tuhan. Betapa menderitanya manusia Aceh setelah dihantam jutaan gallon air bencana yang meluluh lantakkan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh. Telah kering air mata, telah hilang ratapan yang habis dimangsa penderitaan yang luar biasa. Aku hanya bisa membayangkan bagaimana semua itu tergambar di dalam imajinasiku. Mereka bercerita, bahwa mereka dengan serta merta bergabung dengan masyarakat Internasional menolong dan menyumbangkan tenaga sebisanya. Sekecil apapun pertolongan itu diberikan, sudah sangat berarti. Luar biasa!
Namun ada beberapa hal tak sedap lantas muncul ke permukaan. Hanya karena aku adalah teman baiknyalah, cerita ini kemudian dipercayakannya kepadaku.
Ketika mereka tiba di Medan, sepasang orang asing ini serta merta dikerubuti oleh para pahlawan lokal yang berebut ingin membantu. “Need help, Sir? Madame?” Oh, kasihan Carlos. Ia sangat terharu dan hampir meneteskan air mata ketika mendengar banyak sekali uluran tangan yang ingin membantunya. Seorang berpakaian perlente mendekati mereka, dan bertanya dalam bahasa Inggris.
“Anda dari mana? Apakah anda seorang relawan yang ingin ke Aceh? Jika ya, mari ikuti saya, saya akan membantu dan menyiapkan seluruh keperluan anda. Silahkan ikuti saya.”
Wow, mereka serta merta percaya pada Bapak berpakaian perlente ini, dan mengikutinya. Mereka dibawa ke sebuah kantor sebuah maskapai penerbangan yang akan membawa mereka ke Aceh.
“Mari silahkan duduk. Ini tiket penerbangan anda ke Aceh. Semuanya sudah kami persiapkan untuk anda. Anda dari mana?”
Carlos serta merta mengeluarkan dompetnya, sambil berkata, “Oh, terima kasih atas bantuannya. Sangat kami hargai. Berapa harga tiket yang harus kami bayar?”
“Tidak usah khawatir, seluruh tiket untuk anda berdua sebagai relawan, dari Medan ke Aceh pulang pergi, ditanggung oleh kami. Anda tidak usah membayar sepeserpun! Oh ya, anda dari mana?”, jawab si Bapak perlente sambil kembali bertanya.
“Wow, saya sangat berterima kasih atas bantuannya. Kami sangat terkejut atas servis yang diberikan.” Carlos dan Carmen tentu sangat senang dan merasa terkejut pada pelayanan luar biasa ini. Carlos bahkan menambahkan, “Selama kami hidup di Bandung, belum ada orang Indonesia yang membantu kami seperti ini. Kami sangat terharu. Sekali lagi terima kasih.”
“Lho, anda berdua menetap di Bandung? Anda bukan orang dari LSM yang membawa bantuan uang ke Aceh?”, tanya si Bapak perlente itu.
“Ya, kami menetap di Bandung. Kami bukan anggota LSM manapun. Kami datang ke Aceh sebagai relawan yang ingin membantu masyarakat Aceh. Kami datang ke Aceh atas kehendak pribadi. Ya, kami tidak membawa uang bantuan, hanya tenaga dan seluruh kemampuan yang kami miliki yang siap kami sumbangkan.”, jawab Carlos sambil terheran-heran mendengar pertanyaan si Bapak perlente.
“Oh, kalau begitu, ini kuitansi tiket Medan-Aceh pulang pergi yang harus anda bayar.”, jawab si Bapak perlente sambil bersungut-sungut.
Duh, merah telingaku. Merah mukaku.
No comments:
Post a Comment