Cintanya pada perempuan itu tak bertepi. Dikayuhnya pedal becak berwarna merah tua yang telah tak memiliki lampu itu dengan terawang mata yang tajam. Hari telah sangat tua. Berpeluh, di dahi yang menghitam kaya pengalaman hidup itu. Tangannya kencang menggenggam stang. Sekali-sekali ia menengok ke belakang, mengukur jalan. Sibuknya di hari itu tak mengusik lamunannya akan perempuan yang dicintainya, yang ia tahu sedang menunggunya di rumah sederhana yang ia anggap rumah terindah di dunia. Sesekali bibirnya tersenyum, ketika hatinya yang sibuk menghitung pernghasilannya hari itu, sampai pada angka dua puluh empat ribu lima ratus rupiah. Dirasakannya uangnya mendesak padat di kantong belakang celananya. Ia akan gunakan sepuluh ribu rupiah untuk membeli dua bungkus nasi rames lengkap dengan ikan tongkol yang disukai perempuan yang dicintainya itu. Ia menganggap, sekali-sekali ia dan perempuan itu berhak untuk makan dengan menu mewah, tokh hari ini genap sudah tiga dasa warsa ia menikahi perempuan itu. Empat belas ribu lima ratus rupiah sisanya, akan dibelikannya dua buah es krim coklat yang pernah mereka cicipi tujuh tahun yang lalu, ketika satu-satunya anak perempuannya yang sudah menikah itu datang menengok bersama suaminya dari pulau seberang. Masih kental dalam ingatannya yang sederhana, bagaimana es krim itu meleleh lembut dalam mulutnya. Ia dan perempuan yang dicintainya itu tak kuasa untuk tak terbelalak ketika es krim itu mengalir lembut di tenggorokannya. Sensasi itu tak pernah hilang dari ingatannya, karena ia dan perempuan yang dicintainya itu selalu mendiskusikannya pada berbagai kesempatan. Namun ia tak pernah berani membeli es krim yang diimpikannya itu, karena ia tahu beras, garam dan minyak goreng jauh lebih penting.
Saat itu, ia sedikit tak peduli tentang hal itu. Ia sudah bertekad untuk membahagiakan perempuan yang dicintainya dengan sepenuh hati itu, dengan membawa es krim coklat yang dulu pernah meliwati tenggorokan mereka dengan sensasi dahsyat. Sementara pikirannya bekerja, ia mengayuh becaknya melalui jalan yang telah ribuan kali dilaluinya. Senja itu, jalan sepi seperti biasa. Ia melihat pak tua itu berjalan di depannya. Ia memperlambat becaknya, memberi ruang dan waktu yang cukup bagi pak tua untuk menyeberang. Sepeda motor dengan kecepatan sedang tiba-tiba muncul, dan terjadilah. Pak tua terkapar tak berdaya. Sepeda motor menghilang, kabur. Tak percaya dengan apa yang terjadi, ia menghampiri pak tua, dan ia lega ketika tahu pak tua hanya terluka memar berdarah, namun tak parah.
Ia sampai di rumah, dan melihat perempuan yang dicintainya itu sedang berdiri di ambang pintu, tengah menantikannya. Ia menggenggam tangan perempuan itu, dan meminta maaf karena seluruh uang yang diperolehnya hari itu telah ia gunakan untuk membayar jasa dokter dan membeli obat bagi pak tua malang yang tertabrak sepeda motor. Perempuan itu hanya tersenyum. Ia sangat mengenal laki-laki yang sangat dicintainya dan dihormatinya itu. Melalui tatapan mata yang beradu, mereka telah bertukar sejuta kata dan cinta. Ketika perempuan itu mengeluarkan ubi rebus yang telah disiapkannya, laki-laki itu merasa bahwa ia sangat kaya raya. Ia bersyukur karenanya.
Tuesday, April 26, 2005
Kaya Raya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment