Sekelompok anak kecil masing-masing membawa tongkat yang ujungnya berhiaskan semak berlari mengejar layang-layang putus. Seorang yang berlari paling cepat berada di depan diikuti oleh yang lain. Akhirnya anak tercepat berhasil menjerat benang layang-layang putus dan bersorak gembira merayakan keberhasilannya mendapatkan layang-layang tersebut. Namun kegembiraannya tidak berlangsung lama. Teman-teman yang lain segera datang sambil membawa tongkat berhias semak diujungnya. Dan, brusek-brusek! Layang-layang yang baru saja tertangkap si anak tercepat, rusak hancur berantakan. Tak seorang anakpun mendapatkan layang-layang.
Renovasi sebuah bangunan bersejarah di kota Medan ditenderkan oleh pemerintah daerah. Proyek ini sebenarnya bukanlah sebuah proyek bernilai besar, namun banyak menyedot perhatian masyarakat setempat, bukan saja karena nilai sejarah dari bangunan itu, tetapi juga karena salah satu dari peserta tender adalah anak seorang pejabat tinggi dari Jakarta. Alhasil, sebuah perusahaan lokal memberikan penawaran terendah. Tentu si anak pejabat tinggi (dan si pejabat tinggi) kecewa berat. Sempat terjadi polemik tentang kualitas yang ditawarkan oleh pemenang tender, dan beberapa protes dari pihak-pihak yang kalah terhadap fairness proses tender, namun semua itu bisa diatasi oleh panitia tender. Namun tiba-tiba ceritanya menjadi sangat lain, ketika bangunan bersejarah tersebut luluh lantak dimakan api pada tengah malam buta. Proyek dibatalkan. Tak seorangpun memenangkan proyek.
Sebuah proyek penelitian diumumkan. Tiga kelompok peneliti terkemuka dari tiga instansi papan atas di tanah air menyampaikan proposal. Tahap penilaianpun dimulai. Cirruculum vitae dari masing-masing kelompok dinilai dengan cermat. Kapabilitas dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing kelompok direview dengan seksama. Akhirnya, salah satu dari kelompok peneliti ini dipilih sebagai pemenang. Namun hingga saat ini, kontrak penelitian yang ditawarkan tidak pernah ditanda-tangani. Terdengar rumor bahwa salah satu kelompok peneliti yang kalah menyampaikan informasi kepada pemberi proyek bahwa kapabilitas pemenang proyek sebenarnya tidak pas untuk melaksanakan penelitian ini.
Dr. Ir. Tatang Hernas Soerawidjaja dari Departemen Teknik Kimia ITB mengatakan jika sekelompok kepiting ditaruh dalam sebuah ember, tak seekorpun yang mampu untuk keluar dari ember. Mengapa? Jika seekor kepiting berusaha untuk keluar dari ember, maka kawanan kepiting lainnya akan bergelantungan pada kepiting yang berusaha keluar itu, dan menariknya jatuh kembali ke dalam ember. Tak seekor kepitingpun yang bisa keluar dari ember. Tiga contoh di atas adalah prototipe dari bagaimana kelakuan sekelompok kepiting yang tidak rela melihat salah satu dari kelompok berhasil melakukan sesuatu. Percayalah, tiga contoh di atas adalah sebagian kecil dari sebuah teater besar yang saat ini sedang berlangsung di negeri ini. Sebuah introspeksi diri singkat sebenarnya sudah cukup untuk menjawab apakah kita akan selalu menjadi bangsa kepiting yang susah melihat orang lain senang, senang melihat orang lain susah.
Renovasi sebuah bangunan bersejarah di kota Medan ditenderkan oleh pemerintah daerah. Proyek ini sebenarnya bukanlah sebuah proyek bernilai besar, namun banyak menyedot perhatian masyarakat setempat, bukan saja karena nilai sejarah dari bangunan itu, tetapi juga karena salah satu dari peserta tender adalah anak seorang pejabat tinggi dari Jakarta. Alhasil, sebuah perusahaan lokal memberikan penawaran terendah. Tentu si anak pejabat tinggi (dan si pejabat tinggi) kecewa berat. Sempat terjadi polemik tentang kualitas yang ditawarkan oleh pemenang tender, dan beberapa protes dari pihak-pihak yang kalah terhadap fairness proses tender, namun semua itu bisa diatasi oleh panitia tender. Namun tiba-tiba ceritanya menjadi sangat lain, ketika bangunan bersejarah tersebut luluh lantak dimakan api pada tengah malam buta. Proyek dibatalkan. Tak seorangpun memenangkan proyek.
Sebuah proyek penelitian diumumkan. Tiga kelompok peneliti terkemuka dari tiga instansi papan atas di tanah air menyampaikan proposal. Tahap penilaianpun dimulai. Cirruculum vitae dari masing-masing kelompok dinilai dengan cermat. Kapabilitas dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing kelompok direview dengan seksama. Akhirnya, salah satu dari kelompok peneliti ini dipilih sebagai pemenang. Namun hingga saat ini, kontrak penelitian yang ditawarkan tidak pernah ditanda-tangani. Terdengar rumor bahwa salah satu kelompok peneliti yang kalah menyampaikan informasi kepada pemberi proyek bahwa kapabilitas pemenang proyek sebenarnya tidak pas untuk melaksanakan penelitian ini.
Dr. Ir. Tatang Hernas Soerawidjaja dari Departemen Teknik Kimia ITB mengatakan jika sekelompok kepiting ditaruh dalam sebuah ember, tak seekorpun yang mampu untuk keluar dari ember. Mengapa? Jika seekor kepiting berusaha untuk keluar dari ember, maka kawanan kepiting lainnya akan bergelantungan pada kepiting yang berusaha keluar itu, dan menariknya jatuh kembali ke dalam ember. Tak seekor kepitingpun yang bisa keluar dari ember. Tiga contoh di atas adalah prototipe dari bagaimana kelakuan sekelompok kepiting yang tidak rela melihat salah satu dari kelompok berhasil melakukan sesuatu. Percayalah, tiga contoh di atas adalah sebagian kecil dari sebuah teater besar yang saat ini sedang berlangsung di negeri ini. Sebuah introspeksi diri singkat sebenarnya sudah cukup untuk menjawab apakah kita akan selalu menjadi bangsa kepiting yang susah melihat orang lain senang, senang melihat orang lain susah.
No comments:
Post a Comment