Pagi ini, sebuah bom berkekuatan cukup tinggi meledak di Poso - Palu. Lebih 40 orang luka berat, dan banyak yang meninggal. Bom ini meledak di sebuah tempat penjualan daging babi dan daging anjing. Sementara itu, beberapa bom tidak meledak di Pematangsiantar dan Lampung (di rumah Ketua DPRD) dan Kendari. Apa artinya ini? BIN dan pihak kepolisian kebobolan lagi? Duh!
Para teroris pengecut masih terus mencoba untuk mengacak-acak Indonesia. Yang menyedihkan, masih saja ada orang Indonesia sendiri yang mencoba untuk membunuh saudaranya sendiri hanya karena perbedaan ideologi dan paham primodialisme sempit. Ingin sekali aku melihat muka mereka jika ada salah satu sanak keluarga mereka yang juga menjadi korban. Ingin sekali.
Update:
Saturday, December 31, 2005
Bom Lagi
Wednesday, December 21, 2005
Negara tidak Berhak Mengatur Agama
Kebebasan Berkeyakinan tak Bisa Dirampas
Negara tidak Berhak Mengatur Agama
BANDUNG, (PR).-Pluralisme adalah satu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat. Perbedaan selalu hadir dalam berbagai hal, misalnya dalam hal keyakinan, suku, maupun kebutuhan ekonomi.
Menurut M.M. Billah dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pluralisme telah menjadi dasar dari kemunculan demokrasi. Ia mengatakan, demokrasi memiliki makna implisit yang sudah mengakui adanya pluralisme.
”Pluralisme itu tidak apa-apa sejauh anggota-anggota dalam masyarakat pluralis itu tidak melakukan tindakan yang melanggar hak asasi orang lain,” katanya kepada ”PR” di sela-sela seminar ”Agama dan Negara: Politik Negara dalam Melindungi Kebebasan Beragamadan Berkeyakinan di Indonesia”, kemarin.
Dalam seminar yang diselenggarakan di Hotel Santika, Jln. Sumatera, Bandung, Billah mengatakan, negara memang berperan dalam mengatur kehidupan masyarakat yang beragam, termasuk juga dalam hal perbedaan keyakinan.
Namun, katanya, pengaturan itu terbatas pada bagaimana masing-masing orang mengekspresikan keyakinannya supaya tidak merugikan atau melanggar hak orang lain. ”Agama yang dalam arti keyakinan itu adalah wilayah privat. Negara tidak memiliki kewenangan untuk mengatur itu,” ujarnya.
Dia menjelaskan, dari segi hak asasi manusia, ada sikap berbeda antara kebebasan berpikir dan berkeyakinan dengan kebebasan bertindak. Menurut dia, kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak yang melekat, tidak bisa dibatasi, tidak bisa ditunda, dan tidak bisa dirampas. Namun, kebebasan bertindak memang bisa diatur.
Pengaturan kebebasan bertindak, kata Billah, bisa dilakukan dengan mengeluarkan undang-undang atau kesepakatan masyarakat. Berdasarkan yurisprudensi internasional, kebijakan yang berkaitan dengan HAM memang diatur dalam bentuk UU.
”Ini tidak boleh diatur dalam bentuk keputusan menteri, tidak boleh pula dengan peraturan daerah,” tuturnya. Menurut dia, menteri tidak memiliki kewenangan mengatur dan membatasi kebebasan HAM.
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama memang telah mengeluarkan surat keputusan bersama mengenai pendirian tempat ibadah. “Mendirikan tempat ibadah dan menyiarkan agama adalah termasuk freedom to act bukan freedom to be,” katanya. Dijelaskannya, hal seperti ini memang bisa diatur dalam UU bukan peraturan menteri.
Namun, ia mengatakan,pengaturan itu juga bisa dikembalikan ke masyarakat. Bila masyarakat sudah mengatur sendiri, katanya, maka tidak akan terjadi keonaran.
Menurut Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace, Siti Musdah Mulia, kebijakan pemerintah yang hanya mengakui lima agama membuat para penganut agama lain tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Misalnya hak untuk dicatatkan perkawinan dan kelahiran mereka. Akhirnya, mereka tidak memiliki akta nikah dan akta kelahiran.
”Kondisi itu menjadikan tidak adanya proteksi hukum bagi istri dan anak-anak. Ini memiliki risiko buruk bagi masa depan mereka. (CW-9)***
Tuesday, December 20, 2005
Bangsa yang Merendahkan Etos Kerja
Diculik dari Kompas tanpa ijin.
Oleh Dedi Muhtadi
Perilaku sebuah bangsa tidak tercipta dalam waktu singkat, namun terbentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Bangsa ini kembali terpuruk dalam potret kecil olahraga di arena SEA Games XXIII yang berakhir Senin (5/12) di Manila. Dalam gambaran besar, bangsa ini dijuluki bangsa yang berperilaku tidak menghargai proses, tidak suka kerja keras, tetapi ingin serba instan. Mengapa semua itu bisa terjadi?
Lihatlah kondisi perguruan tinggi yang sudah lama mengalami ”kecelakaan”. Sebanyak 99 persen dari dosennya merupakan lulusan sendiri yang mengambil S2 dan S3 di dalam negeri. Sebagian besar dari mereka kemudian mengajar dan menguji.
Sementara itu daya serap mahasiswa terhadap mata kuliah yang disuapi dosennya hanya 20-30 persen. Situasi ini diperparah oleh perilaku sebagian besar mahasiswa yang tidak senang membaca buku. Padahal buku merupakan jendela dunia.
Seorang panelis yang sebagian besar hidupnya dicurahkan di perguruan tinggi mengamati, baik dosen maupun mahasiswa kini tidak lagi menghargai disiplin. Sebelum tahun 1970-an atau pada zaman Soekarno, sikap ini masih bagus, dalam arti mereka tahu disiplin. Mengapa begitu, karena pelajaran dari bangsa Jepang dan Belanda masih menetes kepada para pemimpin bangsa saat itu.
Akan tetapi, sejak tahun 1970-an perilaku unggul itu mulai merosot. Mereka mulai malas bekerja dan malas berdisiplin. Baik mahasiswa maupun dosen sering bolos. Menurut penelitiannya, selama 40 tahun mengajar tidak ada satu mahasiswa pun yang mengikuti kuliah tiap minggu dalam satu semester lengkap.
”Paling banyak kehadiran mahasiswa hanya 10 kali dalam satu semester. Padahal saya sudah melakukan peringatan, sindiran atau marah, dan sebagainya, tidak digubris,” keluhnya. Artinya, dorongan bermalas-malas di kalangan sivitas akademika sangat kuat. Yang paling parah, para dosennya sendiri juga suka bolos.
Gejala umum ini ternyata tidak hanya di kalangan perguruan tinggi, tapi merembet ke sekolah- sekolah rendah dan menengah. Ada suatu anggapan bahwa setelah SMA dan masuk perguruan tinggi, mereka semua bisa hidup bebas. Mau datang kuliah, mau bolos, tidak apa-apa. Ini amat mengherankan, gejala itu tumbuh subur pada saat negeri ini membangun pada masa Orde Baru.
Demikian juga perilaku pegawai di perguruan tinggi yang harusnya datang pukul 07.00, pada umumnya datang pada pukul 09.00. Kalau kita membicara- kan jadwal kuliah, tidak ada dosen yang mau mengajar pada pukul 07.00. Maunya mereka mengajar di atas pukul 09.00 atau pukul 10.00. Ketika panelis ini mengajar pada jadwal pukul 07.00, dari 50-80 mahasiswa yang datang tepat waktu cuma 10 orang.
Menurut pengalamannya, setelah satu jam, masuklah mereka satu demi satu. Masuknya juga unik, setelah buka pintu langsung duduk. Tidak ada yang minta maaf karena keterlambatan itu. Mereka menganggap, kuliah ini hak kita, jadi bebas mau kuliah atau tidak. Lebih jauh lagi, pada umumnya mereka tidak mau belajar keras serta tidak senang membaca buku.
”Pernah sekali waktu saya periksa diktat yang sudah saya bagikan. Benar-benar mengherankan, saya lihat diktat itu bersih sekali. Tidak ada catatan dari dia sehingga waktu ujian banyak yang tidak bisa jawab. Padahal semuanya ada di diktat,” tuturnya.
Pendidikan antikerja
Sebuah analisis terhadap perilaku masyarakat di negara maju menyatakan, mayoritas penduduknya sehari-hari mengikuti prinsip-prinsip dasar kehidupan. Misalnya, menghargai etika, kejujuran dan integritas, bertanggung jawab, hormat pada aturan dan hukum masyarakat, hormat pada hak orang/warga lain, cinta pada pekerjaan, berusaha keras menabung dan investasi, bekerja keras hingga tepat waktu.
Para mahasiswa di negara-negara maju menyebut belajar itu bekerja. Di Amerika Serikat, misalnya, kalau mahasiswa itu berkata, I must to work, itu artinya belajar atau kuliah. Namun, di republik ini para mahasiswa tidak menganggapnya demikian. Pernah seorang menteri pendidikan menyatakan, anak-anak lebih suka sekolah, tapi tidak suka kerja. Celakanya, dalam kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, terkesan anti- kerja.
Dalam kurikulum, program manual work hampir tidak pernah ada. Malah yang ada pun terus dianjurkan agar dihapus. Dulu yang mengadakan kurikulum jenis ini Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh negeri bekas jajahannya, mulai tahun 1970-an, kemudian diganti dengan nama resmi keterampilan atau kerajinan seni rupa. Pernah dalam diskusi IKIP seluruh Indonesia, bidang keterampilan kerajinan dipisahkan dari seni rupa.
Pada zaman Ode Baru, semua media koran, televisi, radio dan sebagainya memublikasikan pembedaan itu. Jadi sekolah itu hanya untuk kerja mental, bukan kerja fisikal. Pernah ada pelajaran hasta karya. Tapi kemudian tidak boleh dipakai oleh murid-murid untuk melakukan apa-apa yang menghasilkan apa-apa.
Yang mengatakan bahwa pelajaran seni dan hasta karya di sekolah-sekolah itu harus bebas berekspresi. Katanya yang penting bukan hasil, tapi proses, seraya tidak peduli hasilnya apa. Proses rasa bebas itu artinya kerja sembarangan dalam pelajaran seni rupa kerajinan dan sebagainya.
Di kalangan masyarakat ada hubungan antara harkat manusia dan kerja manual. Makin banyak kerja manual manusia itu makin rendah harkatnya. Makin kurang kerja manual atau sama sekali tidak kerja manual, makin tinggi harkatnya. Kerja intelektual atau kerja mental, misalnya belajar ilmu, teori, filsafat, banyak sekali peminatnya karena makin tinggi harkatnya.
Namun, yang kerja fisikal hanya sedikit saja karena harkatnya rendah. Kerja fisik itu bukan hanya dianggap rendah, tapi juga merupakan kerja orang-orang jelata. Itu kerja orang-orang miskin, sedangkan kerja orang-orang yang tidak begitu harus menjauhkan diri dari yang manual, dari yang fisikal.
Situasi ini sama dengan zaman Yunani dan Romawi dulu. Di zaman Yunani kuno tersebut semua kerja yang bersifat fisikal manual dianggap tidak bermartabat.
Bernilai rendah
Ironisnya, dunia pendidikan di republik ini juga ”memusuhi” program yang berorientasi pasar. Sejumlah ahli design pernah mengeluhkan tentang perilaku di kampusnya yang tidak market friendly. Mereka merasa tertekan sebab kalau membuat design berorientasi pasar itu dianggap rendah. Yang bagus dan dihargai kalau design dibuat klasik atau bersifat scientific.
Situasi ini berbeda dengan di luar negeri. Di negara maju itu hampir semua mahasiswanya bekerja. Yang tidak bekerja hanya mahasiswa Indonesia yang kebetulan dapat beasiswa dari pemerintah. Malah mereka bisa anteng bekerja di perpustakaan seperti menyusun buku yang secara fisik tidak mau dikerjakan mahasiswa Indonesia.
”Di AS, para mahasiswa S3 biasa mengobrol, pada last summer ia akan bekerja sebagai kontraktor membangun jembatan. Mereka tidak tahu bahwa kita menganggapnya rendah. Dalam hati saya, kok mahasiswa Amerika tingkatan doktor mau kerjaan seperti itu,” panelis ini mengungkapkan pengalamannya. Begitu juga mahasiswa Korea ketika libur, ada yang bekerja sebagai tukang kebun, yang umumnya tidak disukai oleh mahasiswa Indonesia.
Bangsa ini menganggap kerja itu mempunyai nilai rendah. Artinya, kerja itu beban, kerja itu suatu keterpaksaan, kerja itu suatu siksaan. Manusia Indonesia pada umumnya bermimpi hidup senang, hidup enak, tanpa kerja. Lalu siapa yang menghasil- kan makanan dan sebagainya? Seperti pada zaman Yunani kuno, ya orang-orang rendah, rakyat jelata itu. Merekalah yang disuruh kerja, menghasilkan padi, misalnya.
Nilai paling tinggi itu hidup senang. Hidup senang artinya punya banyak uang. Bagaimana menciptakan harta banyak tanpa kerja, ya korupsi itu....
Saturday, December 17, 2005
Keblinger
"Musuh-musuh kami adalah Amerika, Inggris, Italia, Australia, ..."
...dan marilah kita bom dan luluh-lantakkan negara Islam terbesar di dunia, Indonesia!
Bah!
Thursday, December 15, 2005
Carut Marut Beras Impor
Diambil tanpa ijin dari Tempo Interaktif
Lampu hijau untuk impor beras tahap kedua telah dinyalakan. Tahun depan, pemerintah mungkin meningkatkan stok tanpa impor.
Pintu impor beras masih akan terbuka lebar. Dalam rapat konsultasi dengan pimpinan MPR, DPR, dan DPD di Istana Negara pekan lalu, pemerintah menyatakan tetap memegang agenda stok beras sebesar satu juta ton. Konsekuensinya? ”Kemungkinan dan kelihatannya impor akan dilanjutkan,” ujar Ketua DPR Agung Laksono setelah bertemu Presiden dan Wakil Presiden.
Isyarat bahwa impor beras tetap berlangsung juga datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Setelah mengikuti rapat koordinasi di Departemen Perdagangan pekan lalu, dia menyatakan bahwa stok beras yang ada saat ini kembali menyusut karena pemakaian. Ujung-ujungnya, dia menyebut perlunya penambahan agar stok tetap di kisaran sejuta ton.
Kendati di tingkat atas lampu hijau untuk impor beras tahap berikutnya telah dinyalakan, para pejabat pelaksana masih enggan memberi komentar. ”Setahu saya belum ada keputusan tentang izin baru untuk impor,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan, Diah Maulida.
Keengganan Diah mengomentari impor beras bisa dimaklumi karena kebijakan ini terbilang ”bola liar”. Sejak berupa wacana pun, isu impor beras sudah menuai tentangan dari berbagai penjuru. Suara penolakan semakin ramai pada pertengahan tahun, ketika pemerintah menjajakan gagasan impor beras ke DPR. Pemerintah menilai impor beras perlu karena produksi beras tahun ini diprediksi lebih sedikit ketimbang kebutuhan konsumsi.
Buntut dari ancaman defisit adalah harga bisa tak terkendali di penghujung tahun. Pemerintah menyebut dua kejadian yang dapat memicu harga hingga tak terkendali. Pertama, kenaikan harga bahan bakar minyak di akhir Oktober. Kedua adalah rentetan perayaan hari besar, seperti Lebaran, Natal, dan Tahun baru.
Ini asal-muasal pemerintah berkeinginan mempertahankan stok beras sebesar satu juta ton. Yang dimaksud dengan stok beras di sini adalah stok milik pemerintah yang dikelola oleh Perum Bulog. Di saat harga normal, pemerintah menggunakan tabungan beras ini untuk semata-mata kebutuhannya sendiri, seperti program pengadaan beras untuk masyarakat miskin, yang biasa disebut beras miskin, kerap disingkat raskin.
Di saat harga melejit, stok inilah yang diandalkan sebagai peredam. Jika harga beras di sebuah daerah naik hingga 25 persen selama tiga bulan, maka pemerintah akan mengguyurkan stok beras ke daerah tersebut. Istilah yang kerap dipakai adalah operasi pasar.
Alasan impor beras yang dikemukakan pemerintah tak serta-merta ditelan. Banyak pihak meragukan Indonesia akan tekor beras pada tahun ini. ”Saya malah menduga tahun ini akan surplus,” kata Siswono Yudhohusodo, Ketua Badan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani dan Nelayan Indonesia. Ia merujuk kepada antengnya tingkat harga beras sepanjang tahun ini.
Keraguan bahwa Indonesia terancam defisit terutama disebabkan oleh selisih data yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian, yang nota bene sama-sama lembaga pelat merah.
Departemen Pertanian menghitung, tahun ini ada surplus, kelebihan produksi padi di atas konsumsi beras, sebesar 1,6 juta ton. Perhitungan Departemen Pertanian berselisih tak tanggung-tanggung, sekitar dua juta ton, dengan kalkulasi BPS, yang menyebutkan bahwa Indonesia dibayangi defisit beras 650 ribu ton.
Cara kedua lembaga itu menghitung sebenarnya sama, yaitu mengurangi prediksi angka produksi dengan ramalan kebutuhan konsumsi. Hitung-hitungan perkiraan produksi kedua lembaga itu tak berbeda, sekitar 33 juta ton per tahun. Angka produksi lebih mudah direka karena dalam setahun BPS lima kali mengeluarkan data proyeksi produksi beras
”Yang menjadi pemicu perbedaan adalah angka konsumsi,” ujar Anton. Cara Departemen Pertanian maupun BPS menghitung konsumsi sebenarnya tak beda. Mereka menjumlahkan angka konsumsi langsung, yaitu konsumsi rumah tangga dengan konsumsi antara, yang merupakan konsumsi industri seperti restoran atau pabrik. Kalau kemudian hasil yang didapat kedua badan itu berselisih hingga dua juta, itu karena perhitungan angka konsumsi didasarkan atas sejumlah asumsi. ”Soal ini memang bisa diperdebatkan,” ujar Anton.
Jika defisit bukan ancaman, tentu pemerintah tak perlu impor untuk menjaga stok beras di kisaran satu juta ton. Alih-alih mengendalikan harga, impor di saat surplus bisa-bisa malah merugikan petani lokal karena harga beras di dalam negeri bisa amblas. ”Saya setuju stok ditingkatkan. Syaratnya, beras dibeli dari petani lokal,” kata Siswono.
Permintaan ini ditampik oleh pemerintah. Dalihnya adalah pembelian dalam jumlah besar di pasar lokal bisa mendongkrak harga beras, sesuatu yang justru dihindari. Alasan lain adalah pemerintah terbentur ketentuan harga pembelian maksimal. Saat ini, Bulog hanya diizinkan membeli gabah dari petani dalam negeri harga per kilogram tak lebih dari Rp 1.330. Di saat menjelang dan setelah izin impor terbit, harga gabah petani berada di atas Rp 1.400 per kilo.
Niat pemerintah untuk mengimpor semakin tak terbendung sejak akhir Oktober. Dua syarat pembukaan pintu masuk beras dari luar negeri dinyatakan telah terpenuhi dalam rapat koordinasi di kantor Menteri Koordinator Perekonomian.
Harga beras kelas medium di 26 kota, menurut data BPS, telah mencapai Rp 3,650 per kilo, di atas harga persyaratan, yaitu Rp 3.500 per kilo. Persyaratan untuk impor pun terpenuhi secara paripurna karena stok beras di Bulog diklaim tersisa 950 ribu ton saja.
”Data untuk memuluskan impor ini menggelikan,” ujar Bustanul Arifin tanpa tertawa. Ia mengingat bahwa pemerintah pada pertengahan September pernah mengumumkan bahwa stok masih sebanyak 1,6 juta ton. ”Siapa yang bisa mengaudit penurunan yang luar biasa itu?”
Versi pemerintah menyebut penurunan stok terjadi karena peningkatan pembagian raskin. Selama beberapa bulan terakhir, permintaan untuk beras murah ini naik drastis. Dalam sebulan, Bulog mengaku dua kali menggelontorkan beras untuk orang miskin ini. Total stok beras yang diserap oleh rakyat miskin berkisar dari 150 ribu hingga 200 ribu ton per bulan.
Keputusan untuk mengimpor beras resmi diketuk. Bulog ditunjuk untuk memasukkan 250 ribu ton beras dari Vietnam. Waktu pelaksanaan impor dibagi selama tiga bulan, antara November hingga Januari. Bulog diberi lisensi mengimpor sebanyak 70.050 ton, 130 ribu ton, dan 45 ribu ton.
Izin tahap pertama telah diteken oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, awal bulan lalu. Dengan restu itu, Bulog berbelanja beras sebanyak 68 ribu ton. Harga satu ton beras, termasuk biaya angkut, adalah US$ 280.
Pelaksanaan impor tanpa disertai data dan angka yang lebih jelas, menyulut keberangan anggota Dewan. Seratus lebih anggota DPR yang berasal dari empat fraksi, PDIP, PAN, PKS, dan PPP, mengajukan hak angket pekan lalu. ”Kami merasa perlu menyelidiki kenapa kebijakan impor itu keluar,” ujar Cecep Rukmana dari Fraksi PAN.
Kecurigaan bahwa ada udang di balik batu soal impor beras ini tak hanya berasal dari persiapan yang semrawut. Saat dieksekusi, impor beras juga terlihat serampangan. Bulog, yang menjadi operator terlihat begitu ”cekatan”. Tanggal kapal tiba dengan saat penerbitan izin impor pun hanya berselang dua hari. Padahal, seorang pejabat pemerintah pernah memperkirakan impor beras dari Vietnam akan memakan waktu satu minggu. ”Sepertinya komitmen sudah dibuat sebelum izin turun,” Siswono menyimpulkan.
Awal bulan ini, kecurigaan Siswono ternyata tak meleset. Surat kabar asing memberitakan adanya dua kapal Vietnam dengan muatan 20 ribu ton tengah bersiap ke Indonesia. Berita itu mengagetkan karena Bulog yang baru mengantongi lisensi impor tahap pertama sudah memasukkan 68 ribu ton beras. Andai ingin menambah pun, jatah Bulog sesuai izin hanya sekitar 2.000 ton.
Akhir pekan lalu, Bulog mengakui bahwa muatan itu memang order mereka, namun telah dibatalkan. ”Semula itu disiapkan untuk pengiriman bulan Desember,” ujar Direktur Operasi Bulog Bambang Budi Prasetyo. Dia berdalih Bulog harus bergerak cepat karena lamanya tenggang waktu antara keputusan impor dan penerbitan izin impor.
Keperluan pemerintah mengimpor beras semakin dipertanyakan setelah beredar data Perdagangan Beras Dunia, semacam organisasi yang mengawasi lalu lintas perdagangan beras. Dalam tabel negara pengimpor, nama Indonesia tercantum dengan beras pesanan sebanyak 900 ribu ton. Angka itu dikompilasi dari data di pelabuhan negara eksportir beras.
Departemen Perdagangan, sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan izin impor, mengaku tak tahu-menahu dari mana angka sebesar itu datang. ”Kami tak pernah memberikan izin dalam jumlah sebesar itu,” ujar Diah.
Selain izin impor ke Bulog untuk menjaga stok, Departemen Perdagangan sepanjang tahun ini juga menerbitkan izin impor beras khusus sebanyak 255 ribu ton. Sebenarnya, pemberian izin khusus ini sudah lama. Secara teoretis, izin ini hanya diterbitkan untuk jenis beras yang tak dihasilkan di Indonesia serta jenis beras yang digunakan untuk proses produksi. Lembaga donor semacam World Food Programme juga diperbolehkan melalui jalur impor khusus ini.
Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo mensinyalir jalur khusus inilah yang ditumpangi oleh para penyelundup beras. ”Kemungkinan impor tak terdeteksi lebih besar melalui jalur ini daripada impor yang dilakukan oleh Bulog,” kata Widjanarko, awal bulan ini.
Sinyalemen ini ibarat bumerang bagi Anton, yang kerap mengambil posisi berseberangan dengan para koleganya ketika membahas izin impor untuk Bulog. ”Belakangan ini, rekomendasi untuk impor sudah saya tolak,” ujar Anton. Departemen Perdagangan sebagai penerbit turut membela diri. ”Realisasi izin impor khusus untuk tahun ini tak sampai separuh,” kata Diah.
Sebelum impor beras tahap kedua diputuskan, sebaiknya pemerintah memperjelas asal-muasal angka 900 ribu ton tersebut. Jika benar ada beras sebanyak itu mengalir ke Indonesia, praktis angka defisit yang dihitung oleh BPS tertutup. Lalu, apa perlunya impor beras?
THW, Efri Ritonga, Yura Syahrul
Budaya Membuang Sampah
Ketika aku di sebuah foodcourt pusat perbelanjaan di Bandung, seorang ibu dengan enaknya dan merasa tidak bersalah, tanpa beban apa-apa, membuang tissu yang baru digunakannya ke lantai. Aku mencoba untuk memberikan isyarat terganggu akibat ulahnya dengan bahasa tubuhku, tetapi sang ibu tampak cuek dan berlenggang meninggalkanku sendiri yang melongo takjub.
Dalam sebuah penerbangan lokal dengan Adam Air, seorang anak kecil tiba-tiba merengek kepada ibunya, "Ma, sudah selesai, kaleng Coca Colanya sudah kosong!". Dengan tenangnya sang Ibu menjawab, "Buang aja!". Astaga!
Kapan mind-set kita berubah untuk lebih mengutamakan kebersihan dengan sedikit pengorbanan untuk tidak membuang sampah sembarangan?
Sunday, December 11, 2005
Agama Damai
Ia terdiam sejenak, dan menjawab dengan yakin, "Ji, yang kutahu adalah, saat ini aku merasa sangat bahagia, karena apa yang kuyakini adalah ajaran mulia yang menjunjung nilai-nilai luhur, yang memberiku rasa damai hingga ke tulang sum sum."
Friday, November 25, 2005
Guru
- Mendongkrak Nasib Guru dengan Mimpi :: ANGIN surga kembali menerpa gendang telinga para guru. Dalam salah satu pasal Rancangan Undang-Undang Guru (RUU Guru) yang dikabarkan akan disahkan pada 25 November tahun ini, disebutkan gaji guru PNS paling sedikit dua kali lipat gaji pokok PNS non-guru.
- Jangan Jegal Pengesahan RUU Guru dan Dosen! :: DALAM kelakar Profesor Mohammad Surya (Ketua Umum Pengurus Besar PGRI), dikemukakan bahwa guru kalah oleh binatang (langka). Mengapa hal ini terjadi? Karena guru hingga saat ini belum dilindungi oleh undang-undang, sedangkan binatang langka telah dilindungi undang-undang! Kelakar itu tidak saja membuat kita tersenyum, tetapi juga berisi ironi guna menggugah kesadaran kita bahwa saatnya profesi guru mendapat pelindungan secara legal formal melalui sebuah undang-undang.
- Majelis Rektor Minta UU Dosen dan Guru Dipisah :: Menurut Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof. Syamsulhadi terdapat perbedaan antara guru dan dosen meski sama-sama pendidik. "Dosen memiliki tugas lain yang melekat, yakni sebagai peneliti dan harus menjalankan pengabdian masyarakat. Tugas ini tidak ada pada guru," ujar Syamsulhadi, Senin (14/11).
- Guru Swasta Tak Terlindungi :: Rancangan Undang-undang (RUU) Guru dan Dosen belum melindungi guru swasta. "Kami lihat RUU itu diskriminatif soal gaji dan perlindungan kerja bagi guru swasta,"kata Ketua Umum Forum Guru Independen Indonesia (FGII), Suparman.
- Pembahasan RUU Guru dan Dosen Macet :: Rapat pembahasan RUU Guru dan Dosen yang berlangsung antara Komisi Pendidikan DPR dan Pemerintah, yang diwakili Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Kamis (1/9), tak membuahkan hasil. Rapat bahkan diputuskan diskors sampai waktu yang tidak ditentukan, karena tak kunjung tercapai kesepakatan soal pengaturan dosen dalam RUU ini.
Saturday, November 19, 2005
Pahlawan bernama Teroris
Nama Azahari dan Noordin M Top muncul sebagai momok menakutkan setelah pada Oktober 2002 bom meledak di Kuta Bali. Perbuatan pengecut yang diklaim sebagai jihad fi sabillilah ini segera menjadi trend baru di negeri ini. Kelompok pembunuh ini memang kemudian mengklaim bahwa pemboman ini dilakukan dalam usahanya untuk mengenyahkan kemaksiatan dan orang asing. Kemaksiatan dan orang asing yang mana? Apakah mereka tidak tahu bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat religius yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan dengan cara dan ritualnya sendiri? Apakah mereka tidak melihat dan tidak tahu bahwa justru korban terbanyak yang jatuh akibat bom terkutuk itu justru adalah orang Indonesia sendiri? Apakah mereka tidak peduli bahwa kemudian stabilitas sosio ekonomi politik Indonesia menjadi sangat rentan?
Bom-bom berikutnya yang pada kenyataannya diledakkan tanpa pandang bulu itu berkali-kali memorak-porandakan stabilitas sosio ekonomi Indonesia. Pembunuh-pembunuh pengecut yang sama sekali tidak berani hidup dan menantang cobaan nyata ini menyebar teror.
Kematian Azahari seharusnya menjadi tonggak bagi pemberantasan terorisme, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan regional dan internasional. Hal ini dapat dimengerti karena Azahari adalah salah satu orang yang paling dicari di Asia. Dan memang pada kenyataannya, Azahari dan Noordin berhasil menghimpun pengikut-pengikut militan yang tampaknya bersedia melakukan apa saja untuk apa yang mereka sebut sebagai tujuan mulia.
Yang memprihatinkan, kenyataan bahwa kekejaman kelompok ini yang kasat mata, telah membutakan sekelompok orang-orang yang erat menggenggam faham primodialisme sempit. Doktrin-doktrin yang mengajarkan pembersihan, pembunuhan dan kekerasan atas orang-orang non-muslim yang ditanamkan pada kepala orang-orang pengecut ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Seperti itukah konsep spiritualisme yang mereka harapkan?
Dan memang ternyata kekonyolan itu belum selesai. Beberapa TV lokal dan internasional sempat menayangkan bagaimana Azahari dimakamkan di Malaka bak seorang pahlawan. Teriakan heroik "Allahu Akbar" berkali-kali terdengar pada saat pemakaman. Dan memang kemudian predikat Pahlawan Kecil dianugrahkan kepadanya oleh masyarakat setempat. Hey, pahlawan atas jasa-jasanya yang mana? Jasa-jasanya karena telah membunuhi orang-orang asing? Jasa-jasanya karena telah membunuhi orang-orang kafir? Jasa-jasanya karena telah berhasil menciptakan banyak anak yatim di Indonesia? Jasa-jasanya karena telah berhasil menciptakan instabilitas di Indonesia?
Seorang pahlawan telah lahir dari aksi-aksi anarkis berlatar belakang primordialisme sempit.
Friday, November 18, 2005
Mereka Adalah Teroris
Azahari telah mati. Yang menjadi pertanyaan adalaha, apakah ideologi sesat yang ditawarkannya ikut mati? Fakta kasat mata menunjukkan bahwa ajaran sesat yang mengatas namakan Tuhan ini tidak dapat dengan mudah ternafikan.
Imam Samudra, misalnya, walaupun sudah berada dalam penjara, namun tetap memiliki kemampuan untuk menyebar-luaskan ideologi yang dipercayanya dan mencoba untuk menyihir khalayak dengan buku yang menjungkir-balikkan fakta. Dalam bukunya ini, Imam Samudra dengan berbagai macam kedustaan, kepalsuan, dan syubhat-syubhat yang ia bawakan berusaha membalik opini, dari asumsi dan tuduhan teroris terhadap dirinya, menjadi pahlawan dan pejuang yang telah mengorbankan dirinya dalam rangka melawan vampire dan teroris internasional yang bernama Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Dari seorang yang kejam dan tidak punya perasaan, yang telah membunuh sekian nyawa manusia tak berdosa, menjadi pahlawan pembela duka nestapa kaum mustadh’afin. Dari pembunuh keji, menjadi pembela bayi-bayi tanpa kepala di Afghanistan dan Palestina. Dari aksi teror yang keji dan kejam, menjadi aksi heroik dalam rangka membela Islam dan umat Islam.
Mereka Adalah Teroris adalah sebuah buku yang mengupas hal ini secara komprehensif. Semoga, dengan rendah hati, faham-faham yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ketuhanan akan dikikis habis dari bumi ini.Sebuah Tinjauan Syari'at " Mereka Adalah Teroris" Bantahan Terhadap Buku "Aku Melawan Teroris"
Penulis : Al Ustadz Luqman bin MuhammadBa'abduh
Cetakan : I,
Ramadhan 1426 H / Oktober 2005
Jumlah Halaman : 720
Harga : Rp 72.000
I S B N : 9 7 9 - 2 5 - 1 2 4 0 - 3
Wednesday, November 16, 2005
Blue Bird Jawaban Amburadulnya Taksi Bandung
Pernah naik taksi di Bandung? Kalau sudah, anda pasti tahu bahwa taksi Bandung adalah taksi paling amburadul di dunia! Kalau belum, jangan pernah naik taksi di Bandung! Mungkin aku berlebihan, ketika mengatakan bahwa taksi Bandung adalah taksi paling brengsek di dunia, tetapi itulah yang dulu aku rasakan ketika aku terpaksa berhubungan dengan sistem angkutan publik yang satu ini. Tidak hanya sekali aku berjanji pada diriku bahwa aku tidak akan pernah naik taksi lagi di Bandung.
Taksi Bandung tidak pernah mau datang ketika dipanggil via telepon kalau panggilan tersebut berasal dari pinggiran kota, misalnya Ujung Berung, atau Riung Bandung, atau bahka Cipageran Cimahi. Mereka tidak akan pernah datang untuk menjemput, walaupun operator telpon taksi selalu menjanjikan untuk mengirim taksi ke alamat pemanggil. Jangan pernah berharap-lah! Lantas, pengemudi taksi tidak akan pernah - sekali lagi, TIDAK PERNAH - mau menggunakan argometernya. Ongkos taksi yang harus dibayarkan harus dinegosiasikan di awal. Dan ongkosnya jangan tanya, pasti lebih mahal dari ongkos yang seharusnya. Supir taksipun masih memiliki hak untuk menolak untuk mengantar pelanggannya jika jarak antar terlalu dekat. Capeknya enggak sepadan dengan ongkos yang dibayarkan, begitu selalu mereka berkilah ketika aku bertanya mengapa mereka tidak mau mengantarkanku ke suatu tempat. Pokoknya, pelayanan taksi Bandung sangat amburadul dan ajaibnya, Dinas Perhubungan di daerah seakan-akan merestui praktek-praktek seperti ini. Faktanya, hingga sekarang tidak ada tindakan nyata yang diambil.
Itulah sebabnya aku adalah orang pertama yang merasa sangat bahagia ketika mendengar bahwa taksi Blue Bird akan masuk Bandung. Perusahaan taksi ibu kota ini memiliki sejarah panjang yang mengagumkan sebagai armada pelayan publik yang mumpuni. Dan, sangat beralasan jika aku memang menunggu-nunggu hadirnya Blue Bird di Bandung.
Apa daya, kemarin, seluruh operator taksi Bandung melakukan protes atas kehadiran taksi Blue Bird di Bandung. Aku tak habis pikir ketika membaca alasan yang digunakan untuk menolak beroperasinya Blue Bird di Bandung. Mereka mengeluhkan bahwa dengan tidak beroperasinya Blue Bird di Bandung, penumpang sudah sepi. Apa yang akan terjadi jika Blue Bird beroperasi di Bandung. Taksi-taksi ini akan kehilangan penumpangnya. Para supir taksi ini bahwa melayangkan ancaman akan melakukan aksi anarkis jika pemerintah daerah tidak membatalkan ijin operasi Blue Bird di Bandung. Praktek-praktek mafia seperti ini tidak mengejutkanku.
Mereka seharusnya berkaca pada diri sendiri sebelum mengeluhkan hal-hal yang absurd seperti itu. Mereka seharusnya tahu bahwa mereka TELAH ditinggalkan penumpang dan pelanggannya sejak dulu. Dengan beroperasinya atau tidak beroperasinya Blue Bird di Bandung, penumpang dan pelanggan taksi di Bandung sudah enggan untuk naik taksi. Hadirnya Blue Bird seakan menjadi jawaban bagi berantakannya dan amburadulnya pelayanan taksi di Bandung.
Jangan melihat sisi negatif dari hadirnya Blue Bird di Bandung, karena hadirnya Blue Bird di Bandung akan menjadi sebuah shock theraphy bagi pelayanan taksi yang amburadul di Bandung. Masyarakat Bandung berhak untuk mendapat pelayanan publik seperti halnya masyarakat Jakarta, Surabaya, Denpasar, Lombok di sektor angkutan publik. Dengan hadirnya Blue Bird di Bandung, pelayanan prima sektor angkutan publik akan didesiminasikan ke seluruh operator taksi yang sudah ada. Aku yakin kok, bahwa di masa yang akan datang, layanan taksi di Bandung akan semakin baik.
Hukum dan Kesombongan
Semua juga orang tahu bahwa korupsi tidak akan pernah bisa ditumpas jika aparat hukumnya juga korup. Bangsa Indonesia tidak akan bisa lari dari kenyataan itu, bahwa selama perangkat hukum di negeri ini tidak bersih dari kutu-kutu penyebab korupsi, Indonesia tidak akan pernah bersih dari hantu korupsi yang telah dicoba untuk dihancurkan sejak awal tahun ini. Moment pemberantasan korupsi yang sedang menggelinding di Indonesia kali ini harus tetap dijaga resultansinya yang perlahan tapi pasti terus bergerak memberikan iklim yang lebih positif dari sebelumnya. Tahun 2005 bahkan dinyatakan sebagai tahun pemberantasan korupsi.
Mencuatnya dan kemudian pecahnya bisul mafia peradilan yang telah menjadi gunjingan sejak bertahun-tahun silam di MA dan aras hukum di bawahnya membawa harapan baru bagi penguatan momentum peberantasan korupsi di negeri ini. Harapan-harapan naifpun kemudian bergerak muncul sebagai wacana baru usaha-usaha rekonsiliasi penegakan hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, saat ini hampir seluruh mata insan yang peduli pada penegakan hukum di Indonesia menatap penuh harap pada opera tingkat tinggi yang terjadi di MA, KPK, dan lembaga-lembaga tinggi negara. Dan biasanya, jika seluruh perhatian tumpah pada hal ini, para pelaku yang terlibat di dalam pemberantasan korupsi di MA dan badan-badan peradilan di Indonesia enggan untuk berbuat salah.
Namun sekarang, setiap dahi pemerhati hukum di negeri ini berkerut melihat kenyataan bahwa Bagir Manan, seorang Ketua MA, menolak untuk datang menghadiri panggilan KPK sebagai saksi sehubungan dengan kasus korupsi yang melibatkan Probosutedjo. Ketika setiap orang berteriak lantang, mengapa, orang-orang di sekitar Bagir Manan mengeluarkan pernyataan bahwa Bagir Manan tidak berkewajiban untuk memberi pernyataan di depan KPK. Lho, apakah di negeri ini ada orang yang memiliki hak untuk menghindar dari hukum? Bagir Manan baru saja memproklamirkan diri sebagai salah seorang yang memiliki hak istimewa itu. Jadilah Bagir Manan sebagai simbol penolakan Hakim terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini. Ironis sekali, memang.
- Update - 16 Nov 2005: SBY, Bagir Manan, Taufikurahman Ruki (Ketua KPK) bertemu hari ini dan mengeluarkan kesepakatan bersama untuk meneruskan proses pemeriksaan. Wih, semakin rame nih. Kita lihat aja, apa yang akan dilakukan oleh Bagir Manan, dan apa yang akan ditemukan oleh KPK.
Tuesday, November 15, 2005
Catatan Hati
- Desa (Suka Hardjana) :: Apa yang kita pahami bila kita mendengar kata desa? Tempat tinggal orang-orang yang tidak hidup di dalam kota. Desa adalah suatu tempat atau lokus yang ada di luar batas kota. Tempat tinggal orang kota disebut kampung.” Begitu kata penasihat intelektual saya, Kang Entong, yang baru saja lulus sarjana Fisipol dari sebuah universitas bergengsi di Indonesia."
- Miskin (Yudhistira ANM Massardi) :: MESKIPUN dana kompensasi BBM hanya untuk kaum miskin, banyak yang tidak miskin ambil bagian. Di Gorontalo, seorang ibu datang ke kantor pos naik taksi untuk ambil jatah, dan aparat kelurahan memungli sekitar Rp 50.000 dari seorang miskin.
- Begundal (Iwan Qodar Himawan) :: SAYA berada sekitar 8.000 kilometer dari Bali, ketika CNN memuat kabar mengejutkan: bom meledak di Jimbaran dan Kuta, paling sedikit dua orang terbunuh. Makin lama, jumlah korban terus bertambah. Di saluran berita lain, BBC dan Sky News, gambar bom Jimbaran, plus rekaman amatir suasana menjelang ledakan, terus diulang-ulang. Juga di TV berbahasa Arab.
- Bali (Widi Yarmanto) :: BERITA bom Bali pekan lalu itu saya dengar pas nungguin istri pasca-operasi klep jantung di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. ''Coba lihat Metro TV,'' kata seorang rekan lewat telepon. Benar. Teror bom kembali mengusik Bali.
Sakit Gigi
Lelah, dan berkeringat. Sakit gigiku kambuh, tetapi aku belum cukup berani untuk mengunjungi Dr. Poniman, dokter gigiku di Jalan Dago Atas. Aita, seperti biasanya, menyambutku dengan antusias ketika aku membuka pintu. Cium sayangnya hinggap di pipiku.
"Capek?", tanyanya, matanya menatapku khawatir.
"Ya, biasalah. Gigiku kambuh lagi.", jawabku.
"Sudah ke dokter?"
"Belum, belum berani."
"Ketika Dr. Anang menyuntikku tempo hari, aku juga merasa sakit. Tetapi aku harus melakukannya. Kalau tidak disuntik, sakit. Disuntik, juga sakit. Sama saja. Pilih yang mana? Ke dokter atau tidak?", tandasnya, sambil mencoba berargumentasi.
"Benar juga kau.", aku setuju, walaupun masih enggan mengkui kebenaran opininya.
"Tentu, aku benar."
"Iyalah, kita lihat saja besok. Kalau aku punya waktu, aku akan ke Dr. Poniman.", jawabku sambil mencoba berkilah.
"Dengar ya.", katanya sambil menggosok-gosokkan tubuhnya ke tubuhku. "Kalau kau ke dokter, gigimu akan nyeri ketika dibor. Dan jika kau tidak ke dokter, gigimu akan bertambah sakit. Sama-sama sakit. Kau akan pilih sakit yang mana?"
"Pintar kau!"
"Tentu! Kau! Ke dokter gigi saja susahnya minta ampun. Terbayangkah kau bagaimana orang-orang itu ketika memutuskan untuk meledakkan dirinya dan membunuh banyak orang lain hanya karena indoktrinasi yang memporak-porandakan nilai spiritual universal?"
"Tamba pintar, kau!"
"Hey ya, tentu. Aku adalah anjing terpandai di dunia!", ekornya bergoyang-goyang bangga.
Lelahku hilang. Aku akan ke dokter gigi besok!
Saturday, November 12, 2005
Masyarakat Sakit
Bom bunuh diri kembali mengguncang dunia. Kali ini Yordania, salah satu negeri tanah Arab terkemuka menjadi korban. Bom meledak di tiga lokasi yang berbeda, pada saat yang sama, mengambil banyak nyawa. Raja Abdullah II sampai merasa perlu untuk mengutuk dengan keras tindakan pengecut yang dengan seenaknya menyebar rasa takut, memorak porandakan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Segera setelah itu, Al Qaeda kembali menyatakan bertanggung jawab atas tindakan terror itu. Hari ini, ribuan rakyat Yordania turun ke jalan, membentang spanduk, berteriak marah, mengutuk tindakan pengecut Al Qaeda dalam membunuh tanpa pandang bulu korban-kobannya. Pangeran Hassan mengecam Al Qaeda dengan lantang dan menyatakan Al Qaeda sebagai musuh kemanusiaan.
Mencengangkan, sepak terjang Osama bin Laden dengan Al Qaeda-nya telah merenggut arti paling mendasar dari perikemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh umat Tuhan, apapun bendera dan atribut yang dibawanya. Jadi sungguh lebih mencengangkan jika ada sekelompok orang, di negeri ini, yang menganggap bin Laden dan Al Qaeda-nya sebagai pahlawan. Jika sebuah masyarakat yang mengidolakan seorang pembunuh masal, seperti bin Laden, atau Imam Samudra yang bukunya laris manis, masyarakat itu sedang sakit.
Friday, November 11, 2005
Hati Nurani dan Kitab Suci
Postulat 1:
Gandhi pernah menyebutkan: "Jika kitab suci bertentangan dengan hati nuraniku, kitab suci itu akan kutolak dengan tegas."
Postulat 2:
Beberapa temanku berkata: "Jika kitab suci bertentangan dengan hati nurani, akan kubunuh dan kubuang jauh-jauh hati nuraniku."
Mana yang benar? Nuraniku memilih Gandhi.
Rinduku
Temanku yang sedang sekolah di negeri tetangga berkata kepadaku, bahwa orang-orang di sana jauh lebih ramah. Ketika ia bertemu dengan seseorang di tengah jalan, sapa adalah hal yang biasa ia dapatkan. Senyum dan saling mengangguk adalah menu utama yang ia peroleh setiap saat. Pada matanya, terlihat kerinduan untuk melihat hal yang sama di negeri ini.
Tidak banyak memang orang yang beruntung dapat melakukan benchmarking dengan membandingkan apa yang kita miliki dengan sumber daya yang dimiliki oleh orang lain. Tidak banyak pula orang yang dapat melakukan komparasi obyektif sehingga seluruh asesibilitas sendi-sendi sosial budaya dapat terakuisisi secara komprehensif. Namun apa sih susahnya melihat apakah budaya saling hormat menghormati yang dipercaya sebagai budaya asli bangsa Indonesia masih kita miliki? Paling sedikit pada masyarakat urban yang telah dikuasai oleh rutin hambar, tidak susah untuk menyadari bahwa perasaan empati itu sudah tak ada lagi. Layaknya penderita aleksitimia, bangsa ini bingung dalam menyadari apakah memberi perhatian pada penderitaan orang lain itu perlu ataukah tidak.
Tidak adanya lagi tenggang rasa pada beberapa kelompok anak bangsa telah menguras habis rasa prihatin mereka yang dapat melihat permasalahan bangsa secara komprehensif. Ledakan bom pada berbagai kesempatan dan semua tindakan anarkis yang menjungkir-balikkan nilai-nilai kemanusiaan di Poso dan Tentena merupakan sebagian kecil dari unjuk aras moralitas bangsa yang patut dipertanyakan. Jika penghancuran dan menyegelan rumah ibadah bukan merupakan sebuah fenomena yang aneh lagi di negeri ini, entah apa lagi yang bisa diharapkan dari bangsa ini untuk dapat menghormati kodrat kemanusiaan yang paling hakiki, berkeyakinan. Belum lagi kalau kita bicara tentang mafia peradilan, korupsi dan bagaimana pemerintah kita saat ini bermain akrobat dengan kebijakan-kebijakan moneter dan ekonominya yang luar biasa.
Gubernur Lemhanas, Muladi, bangsa ini harus melakukan tindakan luar biasa untuk menata kembali sendi-sendi kebangsaan di negeri ini. Bangsa ini tidak bisa lagi melihat babak belurnya sendi-sendi kehidupan ini hanya sebagai wacana saja. Setiap insan di negeri ini HARUS kembali melihat sebuah kompleks kenegaraan sebagai urusan kebangsaan yang dirajut dari kesepakatan bersama dari seluruh komponen bangsa. Artinya, bangsa ini bukan diperuntukkan bagi sekelompok orang saja, dan menafikan keberadaan kelompok lainnya.
Semoga.
Thursday, November 10, 2005
Mencabut Kewarganegaraan Teroris
John Howard melemparkan wacana untuk mencabut kewarganegaraan bangsa Australia yang terlibat terorisme. Walaupun menurut Jaksa Agung Federal Philip Ruddock hal itu tidak mudah, namun wacana itu telah mengemuka dan menjadi pembicaraan hangat di media-media Australia. Beranikah Indonesia melakukan hal ini?
Saturday, November 05, 2005
Memonopoli Kebenaran
Tidak ada yang bisa memegang sendiri kebenaran, sekalipun hal itu memang benar. Kebenaran adalah sesuatu yang universal. Ketika cahaya Ketuhanan untuk pertama kalinya kuserap, aku selalu yakin bahwa kebenaran hakiki adalah milik individu yang dengan rendah hati menundukkan kepalanya di hadapanNya.
Dengan demikian, kebenaran tidak bisa dipaksakan. Pemaksaan menyebabkan kebenaran menjadi obsolet. Kebenaran adalah sebuah keniscayaan yang dengan sifat agungnya akan menampakkan dirinya pada setiap umat yang memang ingin mewartakan kebenaran. Karena segala yang mucul dari kebenaran seakan cinta seorang pematung arif yang manggut-manggut kagum melihat sebuah karya agung, namun ia selalu berusaha untuk mematung kembali, walaupun ia tahu karyanya tak seindah karya agung itu. Yang ia tahu ialah, ia akan selalu mematung dengan segenap cintanya.
Seorang kawan pernah berkata kepadaku, “Memonopoli Tuhan sama artinya dengan meniadakan arti Ketuhanan itu sendiri.” Aku tersenyum, dan setuju 100%. Tuhan hanya satu, dan Ia tak akan habis dibagi dengan seluruh umat sejagat raya. Jika seseorang atau sekelompok orang memonopoli Tuhan, nilai-nilai Ketuhanan akan habis dimakan oleh ego mereka.Hanya satu Tuhan, orang bijaksana menyebutNya dengan sejuta nama.
Monday, October 31, 2005
Seperti Duryudana
Seperti Duryudana, rasa rendah diri yang tidak perlu selalu muncul pada sebuah pribadi yang labil. Duryudana dengan kompleks yang dimilikinya, selalu menyalahkan lingkungan dan mengintrusi masalah-masalah sepele menjadi sebuah masalah besar dengan cara-cara yang tidak perlu. Ia yang sebenarnya merupakan sosok pemimpin, tak bisa mengakomodasikan kekuatan-kekuatan yang dimilikinya untuk menciptakan vektor yang sinergis bagi diri dan lingkungannya, sebaliknya, ia merusak seluruh potensi yang ada dengan mengakuisisi seisi dunia. Layaknya Duryudana, banyak kelompok-kelompok masyarakat yang dirugikannya, walaupun sebenarnya seluruh potensi untuk maju berada pada genggamannya. Mengapa demikian?
Fenomena seperti ini adalah sebuah keniscayaan pada sebuah masyarakat medioker. Tidak dapat dipungkiri bahwa masayarakat Indonesia yang penuh dengan dinamika sosial yang kompleks, gesekan kepentingan baik yang bersifat emosional psikis, maupun kepentingan-kepentingan ego yang tinggi tidak bisa dihindarkan. Namun, jika justifikasi kebersamaan dapat diambil dan respek yang berasal dari lubuk hati yang mengutamakan hakekat manusia berbudaya yang santun diutamakan, damai yang dinantikan oleh segelintir manusia Indonesia yang mau membuka hatinya, tidak hanya berupa angan-angan yang tak kesampaian.
Percayalah.
Sebuah pengakuan Duryudana di akhir hayatnya pada Krishna dan Yudhistira merupakan sebuah cermin bagi setiap orang:
Aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi sesuatu dalam diriku mendorongku dengan kuat untuk selalu menolak hal-hal yang baik, dan melakukan semua hal buruk.
Akukah itu?
Sunday, October 30, 2005
30% Orang Jawa Barat Sakit Jiwa?
Friday, October 28, 2005
Jengah Menjadi Bangsa Indonesia
Om Swastyastu,
Barangkali ada teman yang berlangganan Indovision, semalam ada tayangan di Cinemax sebuah film Canada berjudul 'I Accuse' diperankan oleh Estella Warren sebagai Jensen Kimberly. Konon diambil dari kisah nyata, dimana Kimberly di lecehkan secara seksual oleh dokter yang merawatnya, bernama Richard Darian. Dia berjuang menuntut Darian yang merupakan tokoh terkemuka di masyarakat. Akhirnya Kimberly berhasil, dan Darian di depan sidang pengadilan mengakui segala perbuatannya, namun dengan kata-kata pembelaan seperti ini :
"Sidang harap maklum, bahwa saya lahir dan dibesarkan di Indonesia, di negeri dimana hukum tidak berlaku, manusianya egois, mementingkan diri sendiri, kaum wanita yang biasanya mudah terpikat uang, dan tidak mempunyai harga diri, maka sifat prilaku saya menjadi seperti mereka, sehingga mudah melecehkan wanita. Untuk itu saya mohon maaf"Bhagawan Dwija - HDNet
Wednesday, October 26, 2005
Iblis Minta Pensiun
Ahmad Syafii Maarif
(Diambil dari Republika)
Pada 19 Oktober 2005, pukul 01.57.43 dini hari, saya menerima SMS dari seorang pengamat sosial politik yang juga pengusaha sukses yang bunyinya sebagai berikut (bahasa sedikit saya ubah): ''Iblis minta pensiun muda. Allah bertanya: 'Wahai Iblis, kenapa kau kembali kepada-Ku, padahal engkau sendiri yang minta untuk menggoda manusia?' Iblis menjawab: 'Hamba yang ahli fikih mencuri dana umat, Mahkamah Agung yang seharusnya adil dan bijak malah memeras, terima sogok. Hamba khawatir justru kami yang tergoda oleh manusia. Maka kami minta pensiun dini saja'.'' Astaghfirullah al-'adzim.
Terus terang saja, saya geli tetapi terkagum-kagum membaca SMS yang cukup sinis dan tajam dalam menggambarkan kondisi masyarakat kita sekarang ini. Luar biasa hebat penciptanya. Sebenarnya, sebagaimana pernah saya katakan, kita hampir kehilangan kosa kata untuk melukiskan moral bangsa yang semakin memburuk dari hari ke hari. Apalagi aparat penegak hukum telah turut berperan untuk menjadikan keadaan semakin runyam, sekalipun kita belum tahu pasti apakah benar ''orang-orang terhormat'' itu telah menyalahgunakan posisinya untuk meraup benda haram.
Kutipan di atas adalah di antara cara kreatif bagaimana rakyat kita yang punya kepekaan batin menciptakan ungkapan-ungkapan sarkastik karena sudah tidak tahan menonton kondisi bangsa ini yang dirusak terus-menerus tanpa rasa dosa dan malu, sampai-sampai Iblis pun putus asa melihat kelakuan manusia karena telah mengalahkannya dalam perlombaan berbuat jahat, sehingga mohon pensiun muda.
Sarkasme semacam ini akan terus bermunculan setiap saat bilamana belum juga terbayang tanda-tanda positif dari pemerintah dan kita semua yang masih siuman untuk benar-benar berjibaku memperbaiki keadaan yang telah bobrok ini. Saya tidak tahu lagi apa sebenarnya yang dicari oleh kaum elite ini. Ada percaloan untuk mendapatkan dana untuk musibah, ada kerja berebut proyek (jika perlu dengan ancaman) dari sejumlah anggota DPR terhadap dirjen-dirjen basah agar diberi jatah.
Beberapa dirjen menyampaikan kepada saya, kelakuan mereka ini sama sekali tidak lagi menghiraukan sisi profesionalisme dalam membuat usul minta proyek. Itulah sebabnya saya pernah menulis, ''Dalam kelakuan, tidak ada lagi bedanya mereka yang mengaku percaya kepada wahyu dan mereka yang tidak hirau kepada agama.'' Semuanya disikat hahis, asal ada peluang untuk itu.
Itu belum lagi kita berbicara tentang proses pembuatan undang-undang, berapa upeti yang harus dikeluarkan oleh seorang menteri agar anggota DPR yang terhormat itu menjadi tenang dan enak tidur. Pokoknya minta diberi jatah untuk dirinya dan untuk partai. Kita bisa membayangkan betapa perihnya keadaan kita, dan jangan menyesal nanti jika yang tersisa dari harta negeri ini tinggal tulang belulang yang berserakan karena dagingnya telah dilahap habis.
Alangkah buruk dan malang nasibmu wahai Indonesiaku. Anak-anakmu sendiri semakin tidak tahu diri. Filosofi mumpungisme telah menjadi agama mereka, sehingga Iblis menjadi tidak tahan dan kemudian minta undur diri karena sudah kalah bersaing dengan makhluk yang bernama manusia!
SMS di atas sampai kepada saya pada jam-jam menjelang sahur pada bulan yang serbasuci ini. Semula saya tidak mau bereaksi karena sudah jenuh mengkritik, tetapi saya ulang membacanya, batin saya tergerak lagi untuk mengulasnya. Siapa tahu dimulai bulan Ramadhan ini petualangan jahat oleh sejumlah pihak yang membuat kondisi bangsa babak belur akan berkurang. Dan tidak mustahil para petualang ini juga mahir memberikan ceramah tarawih, menasihati para jamaah agar hidup lurus, bermoral, dan jangan mencuri harta negara karena dapat berakibat runtuhnya bangsa ini.
Di sinilah peliknya situasi kita: Terjadi keretakan yang semakin parah antara kata dan laku. Kata bertutur agar orang berbuat baik, laku menempuh jalan menyimpang, semakin lama semakin larut dalam kubangan dosa dan dusta. Namun, Alquran masih menghibur kita. Kita salin misalnya makna ayat 53 dari surat al-Zumar: ''Sampaikan (Muhammad), 'Wahai hamba-hambaku yang telah melampaui batas atas diri-diri mereka [berkubang dalam dosa dan dusta], janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya [kecuali dosa syirik, lht. Al-Nisa: 48]. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Penyayang.''
Allah senantiasa membuka pintu tobat bagi mereka yang sungguh-sungguh menyesali kesalahan dan mau kembali. Dan bangsa yang sedang gerah ini menanti perubahan sikap itu dari kita semua. Siapa tahu akan ada hikmah Ramadhan tahun 1426 ini. Semoga.
Monday, October 24, 2005
Berapa Gaji Anggota DPR?
Gaji anggota DPR RI kita yang terhormat dalam sebulan adalah:
Gaji pokok : Rp. 4,2 juta
Tunjangan jabatan : Rp. 9,7 juta
Tunjangan khusus : Rp 3 juta
Tunjangan istri : Rp 420 ribu
Tunjangan anak : Rp 168 ribu
Tunjangan beras : Rp 95 ribu
Uang paket : Rp 750 ribu
Tunjangan lain-lain:
Tunjangan listrik, telpon dan PAM : Rp 2 juta / bulan
Tunjangan perbaikan rumah : Rp 20 juta / tahun
Tunjangan transportasi : Rp 70 juta / tahun
Tunjangan komunikasi intensif : Rp 3 juta /bulan
Anggaran staf pribadi : Rp 2 juta / bulan
Tunjangan sidang : Rp 150 ribu / sidang
Tunjangan panitia khusus : Rp 750 ribu / pansus
Tunjangan masa reses : Rp 150 ribu / hari + tiket pesawat
Tunjangan hotel : Rp 1,2 juta
Penghasilan tambahan:
Bisa lebih besar dari yang di atas.
Sumber: detik.com
Thursday, October 20, 2005
Bangsa yang Teledor
Oleh:
Sarlito W Sarwono
Guru Besar Psikologi UI
Saya sangat sering terbang (istilah gagahnya: frequent flyer). Bisa beberapa kali sebulan, di dalam maupun ke luar negeri. Karena itu, jatuhnya Mandala di Medan baru-baru ini, di tengah hari bolong, di tengah-tengah pasar, sempat membuat saya terenyak. Apalagi kejadian jatuhnya pesawat terbang bukan baru sekali ini (ingat jatuhnya pesawat Lion Air di Solo? Dan masih banyak lagi, lho!).
Tetapi, saya bukan penerbang atau teknisi pesawat udara. Karena itu, pasti saya tidak berkompeten untuk bicara tentang sebab-musababnya pesawat jatuh. Namun, dengan akal sehat, saya tahu bahwa pesawat terbang adalah sarana angkutan dengan teknologi sangat tinggi yang harus bebas kesalahan (zerro error). Kesalahan sedikit saja, akibatnya bisa fatal.
Padahal, sistem penerbangan melibatkan ratusan pembuat keputusan dan ribuan pelaksana, mulai dari penerbang, awak kabin, petugas menara, petugas bandara, sampai dengan manajemen dan tukang pembersih pesawat. Semuanya harus bekerja cepat, cermat, dan sesuai dengan prosedur baku di bawah sebuah komando raksasa abstrak yang bernama "sistem" itu sendiri.
Di sisi lain, sebagai frequent flyer justru saya sering melihat keteledoran di sekitar saya. Penumpang lewat calo, sehingga namanya tidak cocok dengan manifest, misalnya. Ini bukan lagi keteledoran, melainkan sudah kecerobohan yang luar biasa. Ketika ada kecelakaan, penumpang yang bersangkutan tidak mungkin mendapat santunan apa pun. Tetapi, nekat saja orang melakukannya.
Atau kursi yang tidak bisa disandarkan (macet) atau lampu baca yang tidak menyala. Hal-hal kecil ini jelas mencerminkan ketidak-telitian teknisi yang merawat kabin. Atau manajemen yang tidak membelikan suku cadang. Kalau di kabin teknisi bisa tidak teliti, tidak tertutup kemungkinan di mesin pun teknisi dan manajemen tidak bekerja teliti, atau teledor.
Apalagi tiket pesawat dijual di bawah harga tiket kereta api untuk jurusan yang sama. Akal sehat saya yang awam dalam teknologi dan manajemen penerbangan, menyimpulkan pasti ada keteledoran di sini. Kalau harga tiket makin turun, sementara harga BBM justru makin naik, dan begitu juga biaya perawatan, pelatihan dan cek rating awak pesawat, over-head cost, dan sebagainya, sudah pasti ada pengurangan
kualitas atau kuantitas dalam aspek tertentu (termasuk unsur mesin dan awak), agar harga tiket tetap dapat lebih murah dari kereta api atau kapal laut. Pasti ada keteledoran di sini.
Teledor di mana-mana
Melihat banyaknya kecelakaan dalam sektor perhubungan, rasanya keteledoran bukan monopoli dunia penerbangan. Sudah jauh lebih dulu kita dengar berita kapal tenggelam dengan puluhan korban nyawa, karena kapal yang sudah tua, tidak terawat, atau ditumpangi orang
melebihi batas. Teledor, kan? Atau bus ditabrak kereta api karena memaksakan melintas walau kereta api sudah dekat (teledor lagi!), atau karena penjaga pintu kereta api lupa menutup pintu atau petugas di stasiun lupa menyalakan lampu sehingga terjadi tabrakan kereta api
(teledor lagi). Atau anak-anak mati di atap kereta api karena kepalanya terbentur talang air. Semua karena teledor.
Contoh lain di luar sektor perhubungan juga sangat banyak: sampah dibuang sembarangan, air tidak dibersihkan (tipus, demam berdarah), raja dangdut diberi gelar profesor (pembodohan), berhubungan seks dengan pelacur malas pakai kondom (penyakit kelamin, HIV/AIDS), curi
listrik sembarangan, gang-gang pemadam kebakaran (bahasa Belandanya: brand gang) dipadati bangunan (kebakaran, mobil pemadam tidak bisa masuk), hutan-hutan ditebangi (banjir, longsor, banyak orang mati). Dan seterusnya.
Kesimpulannya: pantaslah kalau bangsa Indonesia saya sebut sebagai bangsa yang teledor! Jatuhnya Mandala, hanya puncak gunung es saja dari keteledoran yang sudah meliputi seluruh bangsa ini. Ditambah dengan mental buruk lainnya (seperti KKN), keteledoran akan mampu meruntuhkan sendi-sendi bangsa. Jadi, musuh bangsa Indonesia ternyata bukan kapitalisme Amerika, tenaga kerja murah RRC, MTV, atau terorisme jihad, melainkan kecerobohan mental kita sendiri.
Presiden mana yang akan bisa membetulkan sikap mental teledor itu? Susilo Bambang Yudhoyono-kah? Bukan. Sebab, tidak akan ada presiden yang bisa. Yang harus melakukannya adalah kita semua, seluruh bangsa ini, dengan mengubah sikap mental teledor menjadi sikap mental disiplin dan taat asas.
Diambil tanpa ijin dari sebuah komunitas internet Indonesia.
Wednesday, October 19, 2005
Masyarakat ber-Sampah-Ria!
Siapapun yang melihat hal ini akan menggeleng-gelengkan kepala. Permberdayaan dan upaya-upaya mencerdaskan masyarakat tampaknya tidak banyak mengubah perilaku smau-gue. Gambar ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana perilaku Masyarakat ber-Sampah-Ria benar-benar menjengkelkan. Stupid? Jelas!
Tuesday, October 18, 2005
Kekerasan di Bulan Suci
Sejarah kekerasan dan anarkisme tampaknya tidak bisa lepas dari sepak terjang ormas yang satu ini. Front Pembela Islam (FPI) selalu meninggalkan bekas-bekas tak enak dalam perjalanan kemasyarakatan di negeri ini. Sehingga Kompas harus merasa perlu menuliskan bagaimana kepolisian kita menjadi pusing karenanya. Tetapi mengapa hal ini terus saja berlangsung dan menjadi fenomena klasik sepanjang bulan suci Ramadhan?
Boleh jadi FPI mengklaim bahwa kesucian Ramadhan ternodai oleh segelintir masyarakat yang dianggap FPI tidak mempedulikan kegiatan ibadah umat Islam yang tengah melaksanakan kontemplasi total. Namun apakah kemudian FPI merasa tidak perlu untuk, paling sedikit, menyadari bahwa aksi-aksinya justru merusak secara total usaha-usaha kontemplasi total tadi? Efek merusak yang diakibatkan justru menjadi lebih signifikan ketika isu ini diangkat menjadi isu keamanan nasional oleh Kepolisian Republik Indonesia.
FPI seyogyanya melakukan kontemplasi total untuk melihat diri sendiri, sebelum perlawanan sosial masyarakat luas merebak karena masyarakat luas sudah muak terhadap kekerasan yang tak henti-hentinya disodorkan sebagai menu sehari-hari. Apakah FPI ingin menempelkan label "kekerasan" pada budaya generik masyarakat Islam? Walahualam!
Thursday, October 13, 2005
Menggembosi Mafia Peradilan
Pemberantasan korupsi dalam sistem peradilan yang sarat praktek mafia peradilan sesungguhnya bak mimpi di siang bolong. Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan membumihanguskan korupsi di peradilan, dengan memutus rantai kenikmatan para pelaku mafia peradilan: the real terrorists. Demikian Denny Indrayana, seorang praktisi Hukum Tata Negara mengungkapkan di Tempo Interactive baru-baru ini. Memang, seperti permainan kartu domino yang telah dijatuhkan, kartu-kartu domino yang lain akan menyusul dan mulai menghentak dan menggedor pintu-pintu hukum yang tak terjamah selama ini. Tayangan gamblang di televisi nasional seakan-akan menghentak kabut yang menutupi nurani selama ini. Gambaran abu-abu yang menaungi lembaga peradilan bangsa ini tiba-tiba diusik. Mata setiap insan nanar menatap sebuah kenyataan bahwa institusi agung yang seharusnya merupakan benteng terakhir dari berdirinya nilai-nilai keadilan di negeri ini tampak seperti seonggok kotoran busuk. Mafia Peradilan ternyata sebuah kenyataan yang sangat pahit!
Praktek jual-beli putusan hingga tataran Mahkamah Agung tiba-tiba mengemuka dan menjadi borok yang sangat menjijikkan. Probosutedjo tiba-tiba menjadi sebuah sosok sentral yang berhasil menggulirkan issue ini sehingga orang yang paling goblokpun dapat mengerti apa yang terjadi pada sistem peradilan kita ini.
KPK telah berusaha untuk masuk pada masalah ini. Bagir Manan-pun merasa perlu untuk membela diri dan berteriak di media massa bahwa ini adalah fitnah keji pada institusi seagung Mahkamah Agung. Namun satu hal yang harus dicermati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam kasus memalukan ini;
Memang, untuk menggembosi mafia peradilan di negeri ini, diperlukan sebuah tindakan yang sangat radikal pada sistem peradilan kita.
- Mafia Peradilan bukan barang baru. Para praktisi hukum di negeri ini "maklum" akan hal ini. Denny Indrayana, misalnya, tidak akan menulis dengan segamblang dan sejelas itu jika ia tidak tahu apa-apa. Dan sama sekali tidak ada bantahan eksplisit dari para praktisi hukum tentang hal ini. Hanya seorang Bagir Manan yang tiba-tiba merasa perlu untuk menyatakan bahwa fitnah keji ini telah mencoreng-moreng MA yang kredibilitasnya telah dibangun dengan susah payah. Walahualam.
- Seorang pemimpin yang baik, akan dengan serta merta mengartikulasikan pendapat umum dengan sebuah aksi yang tepat dan efisien. Bagir Manan sama sekali tidak merespon secara positif issue mafia peradilan yang telah mengemuka sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, karena mungkin nilai-nilai ini telah menjadi budaya di lingkungan ini.
Wednesday, October 12, 2005
Cakrawala
- My Musing:: Bukan anak-anak yang salah. Walaupun seperti biasa, menurutku kita selalu harus memulai perubahan dari lingkungan sendiri, misalnya dengan mendidik anak dengan lebih baik, menjadi orang tua asuh dan sebagainya, memang persoalan anak di negara kita terlalu besar kalau harus kita tangani sendiri. Sepertinya perlu tekanan dari kita untuk membuat pemerintah bergerak dan menggunakan uang pajak yang kita bayar untuk memperbaiki nasib anak-anak Indonesia
- Info Grafis - Bom Bunuh Diri:: Sebuah tragedi yang seharusnya memancing empati manusia yang masih memiliki hati nurani.
- Angelina Jolie dan Penghargaan Kemanusiaan:: Ucap Jolie, "Sangatlah canggung bagi saya menerima sebuah penghargaan atas sesuatu yang selama ini merupakan hal terbesar dalam hidup saya, selain dua anak saya, Zahara dan Maddox."
- Pena A.R.I.S. :: Hantaran tema-tema religi yang tampaknya tidak berbeda dengan yang lain, tetapi memiliki nilai-nilai yang patut disimak.
- Indari Mastuti:: Motivasi! Motivasi! Hal yang paling sulit adalah memulai! Sebuah wawasan sederhana dengan arti segunung.
Kemana Empati?
Paty, istriku pernah menantangku pada sebuah kesempatan kecil, apakah kita bisa melihat empati manusia Indonesia akhir-akhir ini? Saat itu aku tidak bisa serta merta menunjukkan hakikat manusia Indonesia dalam karikatur model, entah itu diejawantahkan dalam sebuah kebudayaan luhur bangsa ataukah itu diartikulasikan dalam sebuah perkembangan sosio kemasyarakatan bangsa. Hatiku hanya berbisik kepadaku, entah!
Sebagian kalangan pemuda Indonesia berusaha untuk menemukan jati dirinya melalui berbagai kultur yang dibangun dari remah-remah informasi yang berusaha dikumpulkan dari sana-sini. Kadang-kadang jalan menuju ke sana tidak mudah, karena membutuhkan wawasan matang yang mau menerima opini orang lain dan terbuka pada perbedaan yang mungkin timbul setelahnya. Yang ada adalah, mereka dibutakan oleh indoktrinasi yang tak lembam, dan tampaknya pembenaran berdasarkan sang Khalik bisa dipuntar-puntir. Logika yang tampaknya mudah saja bagi sementara orang, tetapi tampak rigid pada sebagian orang yang lain. Susah-susah gampang. Sialnya, diskusi tak memiliki opsi lain, ketika hal tersebut telah sampai pada "kebenaran hakiki".
Stop, pokoknya aku yang benar! Loe salah semua!
Kemana empati? Kemana semua rasa hormat? Kemana nilai-nilai luhur budaya bangsa yang menjunjung azas kekeluargaan? Apakah Bhineka Tunggal Ika sekarang menjadi kata-kata yang haram untuk diteriakkan? Yang ada memang adalah demam berkepanjangan, rasa tak adil menyeruak keluar, dan aku hanya terpana menatap satu persatu, pelan-pelan, nilai-nilai kemausiaan terbunuh di negeri ini.
Katika Paty, istriku mengingatkanku pada tantangannya, aku menyerah! Aku tak melihat lagi empati di negeri ini. Mungkin aku salah, aku memang berharap demikian.
Monday, October 10, 2005
Yoga = Dosa?
Egypt: 'Yoga is a sin'01/10/2004 12:24 - (SA)
Cairo
- A recent fatwa, or religious ruling, against yoga in Egypt has alienated even some of the most devout Moslems who have decided to defy the decision. Jihane Babiker, an Egyptian businesswoman who describes herself as "a devout Moslem by conviction", is one. "Without a doubt, I am all for yoga and will unfortunately disregard the fatwa," she says.
An ex-model who abandoned her career, donned the veil and holds weekly English language religious sessions with other women, Babiker is frustrated at what she describes as the mufti's "often insufficient responses to people's enquiries". Last week, in response to one enquiry from an unidentified Egyptian, the Grand mufti of Egypt Ali Gomaa declared yoga a sin for Moslems.
Link with Hinduism
The ruling by the mufti, highest authority on Islamic law, stipulates that yoga is a sin because it "is considered one of the ways of practising Hinduism and therefore should not be used for worship.""Even if Moslems do not know the link with Hinduism, it is a sin," the ruling said. Islam recognises only Christianity and Judaism as religions. Dr Fayza Khater, a professor at al-Azhar University, the seat of Islamic learning, supports the mufti's ruling because it "protects people from deviating from Islam".
"People are lost and deviation is very easy. I believe the mufti made the right response," Khater says. However, the tiny community of yoga instructors and practitioners in Egypt is frustrated.Gigi, a 47-year-old Moslem yoga instructor, has been giving yoga lessons in Egypt for 15 years. She says she feels personally targeted by the fatwa and is convinced the mufti "does not know what he is talking about". However, Gigi is submissive about the ruling being yet another "natural development to what we have been witnessing," citing a ruling by the former mufti declaring a handshake between a man and a woman a sin."Just as men and women did not stop shaking hands, I will not stop practising and teaching yoga," she says defiantly. A fatwa or religious ruling has no bearing on the legal system in Egypt.
Benefits to body and mind
Gigi gives yoga classes to about 50 people each week, more than half of them Egyptians. Many of her students resort to the practice as part of a healing process from an illness and Gigi is proud to be able to make a difference. In 2001, Islam Online, a conservative Islamic media website, published an article about the similarities between Moslem prayer postures and that of yoga and its benefits to body and mind.
"Yoga movements are similar to the Moslem prayer positions. So are prayers a sin?" asks Gigi. Khater argues that instead of yoga, people should just resort to one of Islam's pillars: praying five times a day. "Prophet Mohammed used to meditate after prayers. There's no need for yoga," he said. - DPA
Sunday, October 09, 2005
Sunday, October 02, 2005
Bom Bali Babak 2: Persetan Kau Teroris!
Persetan kau teroris! Kau hanya mampu meneror hatimu. Kau hanya mampu menebar rasa takut pada kelompokmu, pada keluargamu. Karena pada dasarnya kau seorang penakut.
Persetan kau teroris! Rasa takut tidak pernah singgah di hati kami. Kami tidak pernah goyah dan mundur hanya karena kau berteriak dengan bom-bommu itu. Kami pernah bangkit setelah kau memperlihatkan rasa takutmu pada berbagai kesempatan. Dan, percayalah, kami akan selalu bangkit dan akan terus membuatmu takut, karena pada hakekatnya, kami adalah sumber rasa takutmu. Dan sekarang, pasti, Indonesia akan kembali bangkit, dan Bali akan kembali sembuh dan akan menyebarkan rasa takut di hatimu.
Persetan kau teroris! Kau tidak pernah membuat kami takut. Tetapi sebaliknya, saat ini kau dipenuhi oleh rasa takut yang tak terbatas. Karena sebenarnyalah, kau telah menanamkan rasa takut itu dihatimu yang busuk.
Bali Kembali Berduka
Bali, kembali berduka. Bom yang meledak di Kuta dan Jimbaran pada tanggal 1 oktober 2005 petang itu memunculkan kembali kenangan tak sedap 3 tahun yang, kala kelompok Islam garis keras mendeklarasikan misinya untuk meluluh-lantakkan Bali. Duh! TV Global sempat menayangkan klip spektakuler bagaimana bom itu meledak. Dalam tayangan itu, tampak seorang pemuda (benar-benar masih sangat muda) masuk ke Cafe Nyoman dengan membawa ransel, dan BUUMMM! Bom meledak!
Friday, September 30, 2005
Stupid!
Kalau ada orang yang parkir di tempat yang jelas-jelas dilarang, orang itu benar-benar goblok, atau sama sekali tidak punya hati.
Thursday, September 29, 2005
Carut Marut Harga BBM
Hari ini, di berbagai media TV yang ada, berita tentang persetujuan DPR untuk menaikkan harga BBM ramai dibahas dan disampaikan. Muka-muka keriput itu menengadah, dan mungkin bertanya, saat ini siapa yang berdiri di belakang mereka?
Semua benar. Dan aku tahu, apapun opini yang digunakan untuk membungkus setiap tindakan adalah merupakan justifikasi mumpuni dari setiap pemain di negeri ini. Tapi hendaknya insan negeri ini sadar, saat ini 50 juta rakyat miskin di Indonesia berteriak serempak, “Apakah kami punya hak untuk hidup di negeri ini?”
Tuesday, September 27, 2005
Setia
Mau tau arti sebuah kesetiaan? Bagiku, setia adalah melompat gembira, menerjangku dengan suka cita, menjilat pipiku sambil mendengus, ketika aku pulang dari kantor.
Monday, August 15, 2005
Coreng Moreng Pilkada Kita
Tempointeraktif.com - Ribuan Pendukung Nur Mahmudi Doa Bersama: "Ribuan kader Partai Keadilan Sejahtera dan pendukung Nur Mahmudi Ismail menggelar doa bersama di lapangan eks-Goro, Depok, Minggu (14/8). Acara ini diisi juga dengan pembacaan puisi oleh penyair W.S. Rendra."
Mungkin terdapat segelintir manusia Indonesia yang sempat berpikir, mengapa Indonesia tidak pernah mau belajar dari kesalahan-kesalahan naif yang dapat menyebabkan proses pembelajaran masyarakat menjadi sebuah proses yang absurd. Tak dapat dipungkiri, bahwa proses pembelajaran ini merupakan proses yang mahal, namun bukan berarti bahwa sementara pihak dapat bertindak seenaknya. Kapan kita mau belajar dari pengalaman-pengalaman buruk masa lalu? Karena, belajar dan berkembang adalah sebuah keniscayaan.
Thursday, August 11, 2005
Ruwetnya Pilkada
Dahulu kala, anak kecil berkelahi berebut layang-layang yang putus. Kemudian aksi brutal ini berketerusan dan berimbas pada sosok-sosok fanatik yang bertempur dengan sekelompok fanatik lainnya ketika mereka bersama-sama menonton tim sepak bolanya berlaga di tengah lapangan. Aksi sportifitas bertajuk kebersamaan dengan mudah berpaling pada adu jotos nan memalukan. Korban nyawa tampaknya tidak lagi mengusik nurani.
Sekarang, ketika sekelompok fanatik yang jagonya kalah pada pemilihan kepala daerah, dapat berubah menjadi garong-garong kecil yang tak bermalu, menginjak-nginjak prinsip sportifitas dan mengabaikan cara-cara beradab untuk protes. Entah, mau kemana negeri ini akan dibawa oleh euforia tak berbatas? Pilkada, oh pilkada!
Monday, July 18, 2005
Brutal
Saturday, July 09, 2005
Menanyakan Kualitas Pendidikan Nasional
Di sisi lain, kurikulum nasional tahun 2004 menegaskan bahwa kurikulum pendidikan kita adalah kurikulum berbasis kompetensi. Seperti apa itu? Kurikulum berbasis kompetensi mudah untuk disebut-sebut, tetapi sulit dicirikan dan tidak mudah untuk diambil sarinya. Seorang rekan yang telah malang melintang melakukan assesment ke berbagai institusi pendidikan nasional pernah berbicara kepadaku; untuk mengajar seseorang teori menyetir mobil mudah saja. Namun, apakah kita dapat mempercayai seseorang yang telah hafal teori menyetir mobil untuk menjadi supir begitu saja? Tidak, kan? Untuk menjadi seorang supir yang kompeten, ia harus diberi fasilitas mobil, dan waktu untuk berlatih. Kurikulum berbasis kompetensi kira-kira harus mengadopsi hal seperti itu.
Sekarang, tanyakan kepada seluruh pengawas sekolah di Indonesia, berepa persen dari sekolah-sekolah itu yang telah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi di sekolahnya masing-masing? Jadi, aku lebih setuju jika uang 250 miliar rupiah itu digunakan untuk memperbaiki dan memfasilitasi sekolah-sekolah yang belum mampu untuk menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Dan serahkan kepada sekolah masing-masing atau daerah masing-masing untuk melakukan ujian bagi siswa-siswanya. Jadikan sekolah sebagai ajang untuk belajar, tidak sebagai tempat untuk mengejar ranking.