Tuesday, April 19, 2005

Belajar Berterimakasih

Kompas, 08 April 2005
Kenalkah anda pada Jarryd Bennet? Jika belum, anda harus belajar untuk mengucapkan terimakasih kepada anak asal Australia ini. Ayah anak ini, Scott Bennet merupakan satu dari sembilan personel Angkatan Laut dan Angkatan Udara Australia yang tewas ketika helikopter Sea-King yang mereka tumpangi jatuh dalam misi kemanusiaan di Pulau Nias, Sabtu (2/4) lalu.
Bisa jadi si kecil Jarryd bertanya-tanya mengapa ayahnya harus meninggal dengan cara seperti itu? Ayahnya tidak gugur dalam medan pertempuran seperti impian ideal seorang prajurit. Tidak juga gugur karena berperang membela negara dari musuh-musuh Australia.

Scott Bennet gugur karena helikopter mereka jatuh saat melakukan misi kemanusiaan di Pulau Nias yang tengah dilanda kerusakan akibat gempa yang terjadi pada Senin (28/3) lalu. Helikopter jatuh Sabtu pukul 16.30 saat akan mendarat di desa Aman Draya di Pulau Nias ketika melakukan tugas kemanusiaan di sekitar daerah kecamatan Teluk Dalam.
Peristiwa ini tentunya sangat bermakna bila dilihat dalam perspektif tertentu. Kita ingat, betapa kita dikecewakan dengan lambannya penanganan para korban gempa bumi tersebut. Bahkan di tingkat birokrasi dalam negeri, peristiwa gempa bumi Nias seperti "direndahkan" dengan dibandingkan dengan bencana gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam, tiga bulan silam.
Bahkan peristiwa jatuhnya helikopter Sea King dengan 9 awaknya tersebut seolah tidak berarti apa-apa. Nilanya mungkin sama dengan misalnya berita helikopter AS jatuh di wilayah Irak. Sesuatu yang sangat biasa.
Apa yang kemudian dilakukan pemerintah RI dengan menganugerahkan Bintang Satya Lencana Bakti Sosial kepada para korban tentunya sudah sangat bernilai. Kiranya penganugerahan itu tidak melulu dipandang sebagai ucapan duka cita, namun bagi keluarganya juga dianggap sebagai ucapan terimkasih dari bangsa kita kepada mereka yang telah berkorban tesrebut. Terimakasih kita karena para tetangga itu telah mencoba menyelamatkan saudara-saudara kita yang tengah tertimpa kemalangan.
Kematian Paus Johanes Paulus II, pekan lalu memang menimbulkan gelombang kesedihan yang sangat dalam. Namun kita juga melihat kematian itu seperti membuka kesempatan bagi banyak orang untuk mengekspresikan rasa terimakasih mereka.
Di lapangan basilika Santo Petrus, terpampang poster besar bertuliskan "Grazie...," terima kasih. Ucapan serupa diusung pembalap F1 asal Italia Jarno Trulli di helmnya saat berlomba di GP F1 Bahrain, satu hari setelah kematian Paus.

Hingga pemakamannya, Jumat (8/4) ini, kita bisa melihat semangat terimakasih yang disampaikan orang-orang yang merasa pernah "disentuh" olehnya. Ketika peti jenazah Paus Yohanes Paulus II atau Karol Wojtyla perlahan masuk basilika Santo Petrus menuju peristirahatannya yang terakhir, ribuan orang mengiringinya dengan standing-ovation.
Kematian Paus -bagi sebagian orang- memang menimbulkan keinginan untuk menyampaikan simpati atau terimakasih. Maka tercelalah mereka yang melarang anak-anak kecil menangis bagi Il Papa; melarang perempuan-perempuan muda dan anaknya antre berjam-jam untuk sekadar memberi tanda salib di depan jenazah; atau mengecam seseorang menghasilkan tulisan tentang Paus, meski tulisan itu ditempatkan di satu tempat yang dianggap kurang layak.
Kita sadar, tak ada monopoli kebenaran terhadap Paus. Ia bisa berada berasama negara adikuasa AS namun sebentar kemudian ia bisa bersama seorang anak penderita kusta di India. Peti matinya pun terbuat hanya dari kayu cemara biasa. Jadi air mata, antrean mau pun tulisan di tempat "tak layak" itu hanyalah sekadar ekspresi rasa terimkasih seseorang.
Dengan semangat itulah, sudah sepatutnyalah kita sebagai bangsa beradab mengucapkan terimakasih kepada sembilan korban asal Australia yaitu Komandan Skuadron Paul McCarthy, Letnan Matthew Davey, Letnan Matthew Goodall, Letnan Paul Kimlin, Letnan Jonathon King, Letnan Penerbang Lyn Rowbottom, pejabat rendah Stephen Slattery, Sersan Wendy Jones dan Prajurit Scott Bennet.
Kita harus berterimakasih agar Jarryd Bennet merasa bahwa ayahnya memang layak meninggal buat menolong bangsa ini. Thank you, Mate...

Tjahjo Sasongko
NB
Pekan ini saya mengantar seorang bibi ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Seorang wanita yang pernah menimbuni saya dengan makanan khas Belanda dan segala kebaikan lain pada masa kecil. Ijinkanlah saya mengucapkan terimakasih kepadanya lewat tulisan ini. "Terimakasih, Bu Rat...".

No comments: