
Pada bulan Februari 2005, seluruh fasilitas itu siap untuk digunakan. Aku sangat ingin tahu, bagaimana sambutan masyarakat ITB tentang fasilitas yang hanya bisa ditemukan di dunia barat itu. Menakjubkan, setelah peresmian penggunaan stasiun air minum ini, tidak ada sama sekali komentar-komentar tentang hal ini. Wah, ternyata masyarakat ITB dengan sangat elegant berhasil beradaptasi dengan cepat terhadap fasilitas mewah ini. Sepi, dan tampak tenang-tenang saja.
Kemarin aku mendengar dari seorang kolega, kritik-kritik mulai bermunculan berkenaan dengan fasilitas baru nan mewah ini, stasiun air minum yang memiliki jejaring di seluruh pelosok ITB. Suara-suara sumbang dari mahasiswa ITB terdengar lapat-lapat di ujung sana, “…siapa sih yang merancang stasiun air minum ini? Sekarang daerah di sekitar stasiun selalu basah kuyup. Mbok ya, kalau mau memberi sesuatu, sekalian yang berkualitas dan rancangannya sudah mempertimbangkan aspek-aspek seperti itu.”
Dari perasaan bangga dan syukur yang memenuhi dadaku ketika melihat instalasi air minum yang disumbangkan oleh para alumni ITB, marah besar dan kecewa tiba-tiba memenuhi seluruh perasaanku. Marah dan kecewa pada komentar-komentar tidak adil yang dilontarkan oleh para mahasiswa ITB. Marah dan kecewaku terutama muncul akibat tiba-tiba aku merasakan bahwa “rendah hati” sama sekali hilang dari kamus pergaulan masyarakat intelektual kita. Aku masih beranggapan bahwa mahasiswa ITB adalah bagian integral dari masyarakat intelektual Indonesia. Ucapan terima kasih dan rasa syukur telah punah dan tidak dikenal lagi.
Tiba-tiba aku ingat, pada saat yang sama, alumni ITB angkatan 1970 juga menyelenggarakan kursus kecerdasan emosi untuk seluruh civitas akademika yang berminat. Tampaknya kursus-kursus seperti ini harus diselenggarakan lebih intensif, karena terbukti bahwa kecerdasan emosi sebagian civitas akademika ITB masih sangat rendah.
No comments:
Post a Comment