Saturday, April 02, 2005

Monumen

Image hosted by Photobucket.comSeorang teman di Jakarta berkata kepada saya bahwa Indonesia membangun banyak sekali monumen peraturan. Lho apa itu?, tanyaku ketika itu. Dia menjelaskan bahwa banyak sekali peraturan yang dibuat di Indonesia, tetapi ketika kita sampai pada tahap implementasi, semua peraturan itu rontok, tidak berguna, namun secara formal masih tetap ada. Itu seperti monumen, kan?

Aku setuju dan aku mulai melihat banyak contoh yang sudah ada, dan aku sadar bahwa bangsa Indonesia memang ahli dalam hal membuat monumen. Sebuah contoh yang paling realistis adalah aturan tentang kewajiban bagi setiap pengendara mobil untuk menggunakan sabuk pengaman. Jujur saja, aku sempat sangat gembira ketika pemerintah daerah mengeluarkan peraturan yang sangat progresif untuk mendenda pengendara mobil sebesar 1 juta rupiah bagi mereka yang tidak menggunakan sabuk pengaman. Sosialisasipun sudah dilakukan dengan gencar. Karena pendekatan yang sangat bagus, setiap mobil yang tidak memiliki sabuk pengaman mendadak memasang sabuk pengaman. Saat ini, aku berani bertaruh bahwa seluruh mobil yang ada di Bandung telah memiliki sabuk pengaman, terlepas dari masalah layak pakai atau tidak.

Namun apa yang terjadi? Setelah satu tahun peraturan itu diberlakukan, aku tidak pernah mendengar jika ada pengendara yang didenda 1 juta. Walaupun aku yakin bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan ini pasti pernah terjadi. Saat ini, aku melihat pak polisi yang berdiri di pinggir jalan acuh tak acuh saja jika di depannya liwat Angkutan Kota yang supirnya tidak menggunakan sabuk pengaman.

Aku beranggapan, peraturan adalah peraturan. Peraturan yang telah diundangkan, harus dilaksanakan. Tetapi mengapa melempemnya pelaksanaan peraturan di lapangan selalu terjadi? Profesor Koentjaraningrat pernah berkata bahwa salah satu sifat manusia Indonesia adalah selalu meng-informalkan sesuatu yang sudah formal. Variabel-variabel sosial yang telah ditetapkan disini seakan-akan sahih dengan selalu berulangnya fenomena ini, setiap saat, setiap waktu.

Nah kelakuan obyektif itu kembali membuat saya pesimis ketika pada tanggal 15 Maret 2005 yang lalu pemerintah daerah mengumumkan peraturan daerah (Perda) tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (K3) yang akan diberlakukan tidak lama lagi. Perda ini mengatur tentang dilarangnya merokok di tempat umum, membuang sampah, melakukan perjudian, dan lain-lain yang berhubungan dengan K3. Denda yang diterapkanpun sangat tinggi terdahap pelanggar Perda ini, berkisar antara Rp 250.000,- hingga Rp 50 juta. Pelanggaran dilarang merokok di tempat umum akan didenda sebesar Rp. 5 juta. Harga yang sama juga akan diterapkan bagi mereka yang kedapatan membuang sampah sembarangan di tempat umum! Bagi mereka yang menyelenggarakan perjudian akan didenda sebesar Rp. 50 juta. Denda sebesar Rp 250.000,- akan dikenakan kepada mereka yang menyebrang jalan di tempat yang tidak semestinya, atau kepada tukang becak yang berkendara di tdaerah terlarang bagi becak. Dan masih banyak lagi.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah peraturan ini juga akan menjadi monumen?
Dari penelitian sederhana yang aku lakukan, 12 orang yang aku tanya, seluruhnya yakin bahwa peraturan ini juga akan menjadi monumen. Saat ini, aku berdoa, semoga mereka salah.

No comments: